Buku “Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya (Legacy of Ashes The History of CIA)” saat ini tengah menjadi sorotan di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Tim Weiner seorang wartawan The New York Times ini bertutur mengenai kegiatan dunia bawah tanah dari sebuah negara adidaya. Negara yang selalu ingin menjadi polisi dunia, yang merasa berhak ikut campur dalam urusan negara-negara lain.
Buku setebal 858 halaman ini memaparkan beberapa bukti kelemahan CIA, mulai dari peristiwa runtuhnya tembok Berlin tahun 1989, serangan menara WTC tahun 2001, hingga kebohongan mengenai keberadaan senjata nuklir Irak yang membawa serangan militer AS ke Irak. Buku ini juga mengungkap operasi yang dilakukan CIA di Indonesia.
Keterlibatan CIA dalam peristiwa G30 S memang telah lama disebut-sebut ada. Beberapa literature telah menyebutkan CIA berada di belakang Soeharto dalam peristiwa berdarah yang merenggut jutaan nyawa tersebut (ada beberapa tulisan yang menyebut korban G30 S mencapai 500 ribu orang, namun beberapa tulisan lain yang mengklaim korban G30 S mencapai 3 juta orang). Buku ini menyinggung beberapa hal mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia tersebut. Beberapa hal disinggung mulai dari kondisi Sukarno, keberadaan PKI hingga pembunuhan para jendral. Bahkan dalam buku ini pihak CIA menyerahkan uang tunai 10 ribu dolar AS guna membiayai pembasmian G30 S.
Sejumlah bantahan sangat mungkin terjadi akibat paparan beberapa identitas yang secara gamblang tercantum di buku ini. Di Indonesia sendiri pemunculan nama Adam Malik, telah menimbulkan beragam reaksi. Orang yang pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia disebut-sebut sebagai pejabat Indonesia tertinggi yang pernah direkrut CIA. Pemaparan hal ini membuat beberapa kalangan yang menganggap pernyataan ini sebagai fitnah mendesak Kejaksaan Agung melarang peredaran buku ini.
Pertanyaan yang saat ini timbul perlukah pelarangan peredaran terhadap buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama ini?
Beragam opini bisa muncul menyangkut benar atau tidaknya Adam Malik merupakan agen CIA. Namun pelarangan peredaran buku bukan merupakan solusi terbaik. Setelah lebih 10 tahun bereformasi adalah sebuah kemunduran jika kita kembali lagi pada era Orde Baru dengan langkah pelarangan peredaran sebuah karya. Kita tentu tidak ingin terjadi lagi pemasungan pikiran di di rezim Orde Baru seperti pelarangan karya-karya brilian Pramodya Ananta Toer atau pembredelan majalah Tempo. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan terulang lagi di masa kini. Pelarangan sebuah tulisan bukan hanya membuat sebuah informasi terputus namun lebih dari itu langkah pelarangan buku ini akan membuat citra buruk bagi pemerintah Indonesia baik di mata masyarakat Indonesia maupun di mata dunia Internasional.
Agak sulit memang menelusuri kebenaran Adam Malik seorang agen CIA atau bukan mengingat saat ini Adam Malik telah tiada. Namun begitu ada beberapa cara lain yang bisa ditempuh untuk mengklarifikasinya. Beberapa bukti perlu digali ulang dalam rangka membenarkan ataupun membantah pernyataan tersebut. Yang diperlukan kerja keras dalam mengumpulkan bukti-bukti pendukung dan bukan hanya kebakaran jenggot saja
Buku setebal 858 halaman ini memaparkan beberapa bukti kelemahan CIA, mulai dari peristiwa runtuhnya tembok Berlin tahun 1989, serangan menara WTC tahun 2001, hingga kebohongan mengenai keberadaan senjata nuklir Irak yang membawa serangan militer AS ke Irak. Buku ini juga mengungkap operasi yang dilakukan CIA di Indonesia.
Keterlibatan CIA dalam peristiwa G30 S memang telah lama disebut-sebut ada. Beberapa literature telah menyebutkan CIA berada di belakang Soeharto dalam peristiwa berdarah yang merenggut jutaan nyawa tersebut (ada beberapa tulisan yang menyebut korban G30 S mencapai 500 ribu orang, namun beberapa tulisan lain yang mengklaim korban G30 S mencapai 3 juta orang). Buku ini menyinggung beberapa hal mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia tersebut. Beberapa hal disinggung mulai dari kondisi Sukarno, keberadaan PKI hingga pembunuhan para jendral. Bahkan dalam buku ini pihak CIA menyerahkan uang tunai 10 ribu dolar AS guna membiayai pembasmian G30 S.
Sejumlah bantahan sangat mungkin terjadi akibat paparan beberapa identitas yang secara gamblang tercantum di buku ini. Di Indonesia sendiri pemunculan nama Adam Malik, telah menimbulkan beragam reaksi. Orang yang pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia disebut-sebut sebagai pejabat Indonesia tertinggi yang pernah direkrut CIA. Pemaparan hal ini membuat beberapa kalangan yang menganggap pernyataan ini sebagai fitnah mendesak Kejaksaan Agung melarang peredaran buku ini.
Pertanyaan yang saat ini timbul perlukah pelarangan peredaran terhadap buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama ini?
Beragam opini bisa muncul menyangkut benar atau tidaknya Adam Malik merupakan agen CIA. Namun pelarangan peredaran buku bukan merupakan solusi terbaik. Setelah lebih 10 tahun bereformasi adalah sebuah kemunduran jika kita kembali lagi pada era Orde Baru dengan langkah pelarangan peredaran sebuah karya. Kita tentu tidak ingin terjadi lagi pemasungan pikiran di di rezim Orde Baru seperti pelarangan karya-karya brilian Pramodya Ananta Toer atau pembredelan majalah Tempo. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan terulang lagi di masa kini. Pelarangan sebuah tulisan bukan hanya membuat sebuah informasi terputus namun lebih dari itu langkah pelarangan buku ini akan membuat citra buruk bagi pemerintah Indonesia baik di mata masyarakat Indonesia maupun di mata dunia Internasional.
Agak sulit memang menelusuri kebenaran Adam Malik seorang agen CIA atau bukan mengingat saat ini Adam Malik telah tiada. Namun begitu ada beberapa cara lain yang bisa ditempuh untuk mengklarifikasinya. Beberapa bukti perlu digali ulang dalam rangka membenarkan ataupun membantah pernyataan tersebut. Yang diperlukan kerja keras dalam mengumpulkan bukti-bukti pendukung dan bukan hanya kebakaran jenggot saja