Jumat, 22 Januari 2010

MDGs and Their Relationship to Disability

650 million people live with disabilities. Unless such huge numbers of people are part of development policies and programmes, it will be impossible to attain any of the Millennium Development Goals

MDG1: Eradicate Extreme Poverty and Hunger

Extreme poverty among families with a family member with a disability may limit the amount and quality of food for them and their families. In house holds with limited resources it is often the woman or girl child with disabilities who is often the last fed or fed.

MDG2: Achieve Universal Primary Education

Poverty and prejudice bar families and communities from educating the girl child with disabilities. Where resources are scarce, the girl child with disabilities is often deprived of even a basic education.

MDG3: Promote Gender Equality and Empower Women

Women with disabilities face extreme discrimination compared to not only a person without disabilities but often from men with disabilities and often less preferred in programmes.

MDG4: Reduce Child Mortality

Infanticide or the deliberate killing of infants with disabilities, especially girls with disabilities, is a huge problem in certain countries.

MDG5: Improve Maternal Health

There is very little information or services available for women with disabilities on maternal health or pregnancy-related information. Women with disabilities also have little access to maternal health related information and care.

MDG6: Combat HIV/AIDS, Malaria and Other Diseases

A disproportionate percentage of women with disabilities who became HIV positive tend to be unable to access proper clinical care.

MDG7: Ensure Environmental Sustainability

Deteriorating environments can have a significant and disproportionate impact on women with disabilities, especially pregnant women with disabilities, and this can be a cause disability.

MDG8: Develop a Global Partnerships for Development

Of the approximately 650 million persons with disabilities world wide, an estimated 80 percent live in developing countries. International partnerships are key to any sustainable development programme.

(taken from: Disability Rights, Gender and Development A Resource Tool For Action)


Jumat, 15 Januari 2010

DUH PELITNYA SAYA


Ada 2 kelompok orang yang membuat saya pelit mengeluarkan uang. Kelompok pertama adalah para peminta sumbangan dan kelompok kedua adalah pengamen. Seringnya meski saya mengeluarkan uang untuk 2 kelompok tersebut namun jumlahnya sangat sedikit. Itupun tidak diiringi keikhlasan yang mendalam. Duh betapa pelitnya saya…

Bagi saya orang yang meminta sumbangan sama dengan mengemis. Yang paling membuat saya makin tidak suka adalah ketika mereka memakai simbol-simbol keagamaaan dan difabel sebagai dalih dalam meminta sumbangan. Puih, kalau memang belum cukup dana ya jangan mendirikan atau membangun tempat ibadah. Tunggu sampai dananya cukup dulu, bukan dengan meminta dari pintu ke pintu, apalagi menyodorkan kotak di pinggir jalan dan perempatan.

Apalagi meminta sumbangan dengan alasan kedifabelan, itu membuat saya sebal. Emang difabel itu identik dengan rasa kasihan apa! Difabel bukan alasan untuk menjadi obyek belas kasian dan iba.

Hemat saya menyumbang ya di posko penerima sumbangan yang sudah disediakan. Kita pergi kesana karena memang berniat untuk menyumbang, bukan Karena ada paksaan, karena ada orang yang memintai. Dan lebih jelas arah uang itu kemana.

Kelompok kedua yang membuat saya pelit adalah pengamen. Pengamen bagi saya tidak jauh berbeda juga dengan pengemis. Karena biasanya mereka menyanyi dengan nada yang jauh dari enak didengar di kuping. Mending dengerin mp3 saja. Selain itu ada beberapa pengamen yang bersikap tidak menyenangkan ketika orang tidak mau meberikan uang. Huh sudah minta maksa lagi….

Namun ada beberapa perkecualian jenis pengamen yang membuat saya mengacungkan jempol dan membuat kepelitan saya menghilang. Di Boyolali, ada banyak warung soto bertebaran. Meski demikian warung-warung soto tersebut nyaris tidak pernah sepi sendiri. Hmm, jelas soto telah menjadi menu andalan kuliner Boyolali.

Yang menarik adalah di bagian depan warung-warung soto tersebut biasanya terdapat sekelompok pengamen. Biasanya mereka duduk di sebelah pintu masuk warung. Grup yang terdiri dari 4-7 orang tersebut mengusung jenis musik campursari. Meskipun jenis musik tersebut bukan merupakan jenis musik yang yang saya gemari namun saya memberikan apresiasi positif bagi mereka.

Penampilan mereka yang sopan dan ramah, tetap memainkan lagu tanpa peduli apakan pengunjung memberikan uang atau tidak, serta memperlihatkan kualitas musik yan cukup memadai (tidak sekedar genjrang-genjreng tak enak didengarkan) membuat saya tidak sayang mengisi kotak mereka (biasanya mereka menempatka sejenis wadah plastic yang biasanya digunakan sebagai tempat nasi di depan mereka sebagai tempat pengunjung memberika uang). Dan nampaknya bukan saya saja yang berfikir begitu, karena bila dilihat dal;am wadah plastic tersebut isinya kebanyakan bukan berupa recehan koin seperti pada pengamen lain, tapi lebih didominasi oleh uang kertas.

Pengamen lain yang menarik bagi saya biasanya duduk di depan warung bakso kesukaan saya. Pengamen tersebut hanya menggunakan alat musik siter. Siter adalah alat musik tradisional Jawa yang dimainkan dengan cara dipetik. Belakangan pemain siter mulai langka.

1 lagi pengamen yang membuat saya memberi apresiasi baik adalah pemain biola yang dulu sering berkeliling di daerah kost saya di Jogja. Saya adalah seorang penikmat musik yang dihasilkan oleh biola tersebut. Pria paruh baya tersebut memainkan biolanya dengan bagus. Temen kost saya yang kebetulan juga seorang penyuka biola bahkan rela mengejar pemain biola tersebut, dan memanggilnya untuk bermain biola di depan kami. Hmm, kami sangat menikmati pertunjukan yang bagus tersebut.

Jadi rasanya untuk 3 pengamen yang saya sebutkan di atas, kepelitan saya hilang sudah. Leganya…