Selasa, 12 Februari 2013

SAYA DAN KURSI RODA


Saya pernah menganggap kursi roda dan saya tidak pernah cocok. Dulu ketika ada orang yang mengusulkan untuk memakai kursi roda saya akan menolak secara terang-terangan. Pasalnya saya merasa masih mampu berjalan dengan baik, meskipun menjadi lebih mudah lelah dibanding kebanyakan orang. Alasan lain adalah saya merasa risih ketika orang memberi perhatian lebih (malu kalau nantinya banyak orang yang memperhatikan) juga keribetan yang terjadi karena mayoritas bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia tidak aksesibel terhadap pemakai kursi roda.
          Oleh karena itu saya lebih nyaman beraktifitas dengan berjalan kaki, meskipun masih terkendala oleh banyak hal. Diantara kendala yang saya hadapi adalah: keluarga atau rekan yang mengantarkan terpaksa mencari tempat parkir tedekat, di beberapa lokasi saya terpaksa lebih banyak duduk dan menunggu karena kecapekan sementara yang lain melanjutkan berjalan.
          Lebih lanjut salah seorang rekan saya penderita polio yang menggunakan kruk pernah mengatakan bahwa kursi roda akan membuat pemakainya malas dan bergantung sehingga nantinya dia tidak akan bisa lepas dari kursi rodanya. Dia bersikeras menggunakan kruk untuk menyangga kakinya dan menolak keras menggunakan kursi roda.
          Hal-hal tersebut membuat saya setengah antipati menggunakan kursi roda.
          Namun kemudian antipati saya berubah menjadi ketertarikan ketika saya bertemu dengan  Alica, seorang pemakai kursi roda yang berasal dari dari Mexico yang juga memiliki keahlian mengutak-atik kursi roda. Saya bertemu dengannya ketika mengikuti sebuah training kepemimpinan bagi perempuan penyadang disabilitas di Amerika pada 2010 lalu. Alicia yang merupakan volunteer dari MIUSA (organisasi yang menyelenggarakan kegiatan training tersebut). Di situ selain sebagai penterjemah bahasa Spanyol Alicia juga menjadi salah satu “dokter” kursi roda.
          Cuaca dingin ditambah kelelahan setelah penerbangan panjang selama 22 jam dan berjam-jam transit membuat kondisi saya drop. Pada hari pertama tinggal bersama host family (keluarga dimana saya tinggal selama mengkuti kegiatan training), saya menyadari bahwa berjalan dari rumah host family ke pemberhentian bus yang hanya berjarak beberapa blok itu terasa sangat melelahkan.
          Ketika saya menemui Alicia dan menceritakan kesulitan tersebut, dia menyarankan pada saya untuk menggunakan kursi roda. Menyadari keengganan saya dia memberikan cara yang lebih persuasive.
          “Kamu di sini mengikuti sebuah kegiatan baru di tempat yang baru. Apakah kamu tidak tertarik untuk mencoba segala hal baru juga?” Katanya menantang saya untuk mencoba.
          Dan ya. Saya sangat tertarik untuk mencobanya. Setidaknya di sini ada beberapa alat bantu yang bisa saya coba pakai dan sejauh mana alat bantu tersebut efektif untuk saya gunakan.
          Alicia dan teman-teman dari MIUSA memiliki banyak rekomendasi alat bantu yang digunakan penyandang disabilitas. Dari MIUSA saya mengetahui ada banyak sekali jenis kursi roda, bukan hanya kursi roda manual dan kursi roda listrik seperti yang sebelumnya saya ketahui.
          Beberapa penderita multiple disabilitas menggunakan kursi roda yang berbeda pula. Saya bertemu dengan seorang penyandang multiple disabilitas yang kursi rodanya dilengkapi sensor khusus yang membuatnya bisa mengoperasikan computer melalui sensor tersebut. Saya juga melihat kursi roda yang dilengkapi sabuk pengaman yang membuat pemakainya yang menderita cerebral palsy bisa duduk dengan nyaman di atasnya.
          Kursi roda berbeda-beda tergantung dari pemakainya. Beberapa staf dan volunteer MIUSA yang menggunakan kursi roda dengan beberapa variasi. Biasanya lengan kursi akan dihilangkan sehingga memudahkan mereka mengayuhnya. Posisi roda juga tidak sejajar namun dibuat agak melengkung. Bahkan beberapa dari mereka yang merupakan atlet penyandang disabilitas memodifikasi kursi rodanya hingga menyerupai kursi balap yang memudahkan mereka bergerak. Dengan kursi roda yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa membuat mereka mengendarai kursi rodanya bak pengendara motor dan mobil yang kerap mengutak-atik tongkrongannya.
          Merupakan sebuah pemandangan biasa melihat para pemakai kursi roda ini  bergerak bebas kesana kemari, bermain basket, bermain tenis dan rangkaian olahraga lain yang mereka kuasai. Mereka sama sekali tidak canggung memakai kursi roda layaknya pemakai kacamata baca untuk membantu mata minus.
          Dalam beberapa kesempatan ketika kami harus berjalan menempuh jarak yang cukup jauh beberapa rekan peserta training akan berbaris seperti lokomotif kereta api. Paling depan adalah dia yang memakai kursi roda listrik, di belakangnya pemakai kursi roda manual akan saling memegang bagian belakang kursi roda rekannya. Dengan cara ini mereka tidak perlu capek-capek mengayuh. Sambil tertawa riang 3 hingga 8 kursi roda akan berjajar mengular.
           Hal tersebut menyadarkan saya bahwa saya harus berdamai dengan kursi roda. Bahwa saya bukan lagi menganggap berkursi roda bukan sekedar asesoris semata, tapi menjadi sebuah kebutuhan. Saya belajar untuk menyadari bahwa tidak perlu malu menggunakan kursi roda karena itu adalah alat bantu yang memang kita butuhkan. Seperti mereka teman-teman saya yang menjadikan kondisi fisik mereka menjadi sebuah penghalang mereka mewujudkan harapan-harapannya. Mark Hansen dan Molly Rogers tetap bisa menjadi seorang atlet tenis handal dengan kursi rodanya, Ruth Achienegh masih bisa bermain basket dengan berkursi roda, Susan Sygall yang pandai menunggang kuda acapkali menyebut dirinya ‘Wheelchair Ryder’ seperti dia menyebut dirinya ‘Horse Ryder’.
          Melihat mereka dengan wajah sumringah, postur badan tegap dan kepercayaan diri mereka bukan lagi sosok lemah dan tampak sakit tatkala harus bertengger di kursi roda. Namun lebih menjadikan kursi roda tersebut sebagai ganti kaki untuk berjalan. Being person with disability doesn’t mean that she/he can’t do such thing, but doing this matter in such different way.
Alicia dan “dokter-dokter” kursi roda lainnya  membuat saya terheran-herang dengan berbagai macam ide yang dimiliki untuk membuat sebuah kursi roda nyaman untuk dikendarai. Dari mereparasi setiap bagian dari kursi hingga menggunakan berbagai macam bahan seperti stereofoam. Satu kata buat mereka “keren!”.
          Saya menerima tantangan Alicia untuk mencoba menggunakan berbagai alat macam alat bantu bagi penyandang disabilitas. Dengan cara tersebut saya mempunyai pengalaman seberapa efektif alat-alat bantu tersebut bisa bermanfaat dan memudahkan saya menjalani berbagai aktifitas.
          Hari itu saya pulang membawa sebuah walker (alat bantu berjalan yang memiliki roda) dengan semacam tempat duduk di tengahnya. Jadi ketika saya capek berjalan, saya bisa menggunakan walker tersebut untuk duduk. Baru sehari saya rasakan alat tersebut tidak cocok untuk saya gunakan karena selain berat, walker tidak mengurangi rasa capek saya menempuh jarak beberapa blok tersebut. Selain itu tempat duduk yang terdapat pada walker tersebut terlalu tinggi sehingga saya merasa kesulitan untuk menaikinya.
          Setelah walker saya kembalikan beberapa hari kemudian Alicia datang pada saya membawa sebuah kursi roda. Sebuah kursi roda yang terbuat dari bahan yang ringan. Kursi roda seperti inilah yang sering saya lihat ada di Indonesia. Kursi roda yang biasanya ada di rumah sakit yang terbuat dari bahan alumunium dengan tempat duduk kanvas dan mudah dilipat.
Dengan meminta maaf Alicia menerangkan bahwa sejauh ini baru kursi roda ini yang bisa dia temukan untuk saya. Kursi roda ini dibuat untuk orang dengan tinggi rata-rata. Sehingga meskipun ini membantu saya tidak kecapekan, saya tidak bisa mengayuh sendiri kursi roda ini. Sehingga saya masih butuh orang lain mendorong kursi roda untuk saya.
          Lebih jauh kursi roda ini juga tidak sesuai bagi saya karena saya tidak bisa mengontrolnya. Saya pernah hampir celaka ketika terjatuh di koridor pemberhentian bus karena kursi roda meluncur di jalanan yang agak miring dan saya tidak mampu menghentikannya. MIUSA tetap berusaha untuk menemukan sebuah kursi roda yang tepat untuk saya, bukan hanya kursi roda yang bisa saya naiki namun kursi roda yang bisa saya kayuh sendiri sehingga saya tidak harus bergantung pada orang lain untuk mendorongnya.
          Selama seminggu, karena masih belum ada kursi roda yang sesuai, untuk  sementara saya masih menggunakan kursi roda tersebut. Hingga Bill Pierce seorang “dokter” kursi roda selain Alicia menemui saya dan menyatakan bahwa dia punya kursi roda yang sesuai dengan saya. Beberapa hari kemudian Bill datang membawa sebuah kursi roda berwarna pink buat saya. Kursi roda anak-anak tersebut terlihat cantik dan kokoh, dengar rangka besi dan sandaran busa. Sayangnya belum mempunyai bantalan yang tepat.
          Istri Bill yang seorang guru TK menemukan sebuah kursi roda anak-anak yang sesuai dengan ukuran tubuh saya. Setelah dilakukan beberapa penyesuaian lagi seperti memasang bantalan duduk, memendekkan sandaran kaki dan beberapa hal lainnya kursi roda tersebut sangat pas untuk saya. Bantalan duduk yang dibuat Bill juga yang disesuaikan dengan ukuran badan saya.
          Selama sekitar 2 minggu saya menggunakan kursi roda ini saya mulai menyadari bahwa alat ini sangat membantu. Alicia menerangkan bahwa kondisi kaki penyandang disabilitas acapkali rentan. Seorang penyandang disabilitas yang sehari-hari menggunakan kruk untuk membantunya berjalan haruslah menyadari bahwa kakinya memiliki keterbatasan kekuatan jadi jangan terlalu diforsir. Bukan berarti mereka harus selalu menggunakan kursi roda alih-alih memakai kruk, namun sesekali mengistirahatkan kaki dengan mengandarai kursi roda sehingga kondisi kaki tidak terlalu terbebani. Jadi sebaiknya mereka memiliki sebuah kursi roda disamping sepasang kruk. Alicia juga memberikan tips bagaimana memasang kruk pada bagian belakang kursi roda. Wah benar-benar tips yang berguna.
          Hal yang membahagiakan adalah ketika Bill mengatakan bahwa saya bisa membawa kursi roda pink ini pulang bersama saya ke Indonesia secara gratis. Wow, ini adalah suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Namun ada kesedihan tersendiri ketika menyadari bahwa di Indonesia saya menemui kesulitan memakai kursi roda ini. Kondisi bangunan dan infrastruktur yang mayoritas masih belum aksesibel bagi pemakai kursi roda membuat saya agak ragu membawanya pulang ke Indonesia.
          Namun keraguan tersebut terbantahkan ketika salah seorang rekan saya Nguyen Thi Lan Anh, seorang perempuan yang mengalami glass bone disease (kondisi dimana tulang mudah patah) yang juga ibu dari seorang putra menyarankan saya tetap membawa kursi roda ini. Dia mengatakan bahwa suatu saat ketika saya mengandung, saya akan sangat membutuhkan kursi roda. Meskipun saya bisa berjalan dengan baik, seperti diketahui pada umumnya penyandang disabilitas mudah sekali terjatuh. Dalam keadaan mengandung, jatuh akan sangat berbahaya bagi janin sehingga Anh menyarankan saya memakai kursi roda selama masa kemengandungan.
          Dan di sinilah saya membawa pulang kursi roda pink saya selama penerbangan panjang melintasi benua. Sampai saat ini kursi roda ini masih tetap bersama saya meskipun sangat jarang sekali saya gunakan. Dengan kondisi bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia yang mayoritas tidak askesibel bagi penyandang disabilitas lebih mudah bagi saya berjalan kaki ketimbang berkursi roda. Sehingga kursi roda pink saya yang cantik lebih sering teronggok di sudut ruangan, menunggu sampai waktunya saya mengandung dan memakainya selama 9 bulan penuh. Ya tentu saja saya tidak ingin membahayakan nyawa saya dan calon bayi saya nantinya bukan.
          Kursi roda itu juga masih teronggok di pojok ruangan menunggu suatu saat dimana bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia dibuat aksesibel bagi penyandang disabilitas. Sehingga selayaknya warga negara lain kami juga bisa mengaksesnya dengan nyaman. Saya memiliki mimpi bisa kesana kemari mengendarai kursi roda pink saya yang cantik dengan aman dan nyaman.

Pemenang II lomba karya tulis “Disabilitas, Hukum dan Keadilan”  kategori Khusus dengan tema “Perjuangan dan Eksistensi Disabilitas untuk Mencapai Kemandirian, Kesejahteraan dan Keadilan”

http://solider.or.id

Senin, 14 januari 2013