Saya pernah menganggap
kursi roda dan saya tidak pernah cocok. Dulu ketika ada orang yang mengusulkan
untuk memakai kursi roda saya akan menolak secara terang-terangan. Pasalnya saya
merasa masih mampu berjalan dengan baik, meskipun menjadi lebih mudah lelah
dibanding kebanyakan orang. Alasan lain adalah saya merasa risih ketika orang
memberi perhatian lebih (malu kalau nantinya banyak orang yang memperhatikan)
juga keribetan yang terjadi karena mayoritas bangunan dan sarana infrastruktur
di Indonesia tidak aksesibel terhadap pemakai kursi roda.
Oleh karena itu saya lebih nyaman
beraktifitas dengan berjalan kaki, meskipun masih terkendala oleh banyak hal.
Diantara kendala yang saya hadapi adalah: keluarga atau rekan yang mengantarkan
terpaksa mencari tempat parkir tedekat, di beberapa lokasi saya terpaksa lebih
banyak duduk dan menunggu karena kecapekan sementara yang lain melanjutkan
berjalan.
Lebih lanjut salah seorang rekan saya penderita
polio yang menggunakan kruk pernah mengatakan bahwa kursi roda akan membuat
pemakainya malas dan bergantung sehingga nantinya dia tidak akan bisa lepas
dari kursi rodanya. Dia bersikeras menggunakan kruk untuk menyangga kakinya dan
menolak keras menggunakan kursi roda.
Hal-hal tersebut membuat saya setengah
antipati menggunakan kursi roda.
Namun kemudian antipati saya berubah
menjadi ketertarikan ketika saya bertemu dengan
Alica, seorang pemakai kursi roda yang berasal dari dari Mexico yang
juga memiliki keahlian mengutak-atik kursi roda. Saya bertemu dengannya ketika mengikuti
sebuah training kepemimpinan bagi perempuan penyadang disabilitas di Amerika
pada 2010 lalu. Alicia yang merupakan volunteer dari MIUSA (organisasi yang
menyelenggarakan kegiatan training tersebut). Di situ selain sebagai
penterjemah bahasa Spanyol Alicia juga menjadi salah satu “dokter” kursi roda.
Cuaca dingin ditambah kelelahan
setelah penerbangan panjang selama 22 jam dan berjam-jam transit membuat
kondisi saya drop. Pada hari pertama tinggal
bersama host family (keluarga dimana
saya tinggal selama mengkuti kegiatan training), saya menyadari bahwa berjalan
dari rumah host family ke pemberhentian
bus yang hanya berjarak beberapa blok itu terasa sangat melelahkan.
Ketika saya menemui Alicia dan
menceritakan kesulitan tersebut, dia menyarankan pada saya untuk menggunakan
kursi roda. Menyadari keengganan saya dia memberikan cara yang lebih
persuasive.
“Kamu di sini mengikuti sebuah
kegiatan baru di tempat yang baru. Apakah kamu tidak tertarik untuk mencoba
segala hal baru juga?” Katanya menantang saya untuk mencoba.
Dan ya. Saya sangat tertarik untuk
mencobanya. Setidaknya di sini ada beberapa alat bantu yang bisa saya coba
pakai dan sejauh mana alat bantu tersebut efektif untuk saya gunakan.
Alicia dan teman-teman dari MIUSA
memiliki banyak rekomendasi alat bantu yang digunakan penyandang disabilitas.
Dari MIUSA saya mengetahui ada banyak sekali jenis kursi roda, bukan hanya
kursi roda manual dan kursi roda listrik seperti yang sebelumnya saya ketahui.
Beberapa penderita multiple
disabilitas menggunakan kursi roda yang berbeda pula. Saya bertemu dengan
seorang penyandang multiple disabilitas yang kursi rodanya dilengkapi sensor
khusus yang membuatnya bisa mengoperasikan computer melalui sensor tersebut.
Saya juga melihat kursi roda yang dilengkapi sabuk pengaman yang membuat
pemakainya yang menderita cerebral palsy bisa duduk dengan nyaman di atasnya.
Kursi roda berbeda-beda tergantung
dari pemakainya. Beberapa staf dan volunteer
MIUSA yang menggunakan kursi roda dengan beberapa variasi. Biasanya lengan
kursi akan dihilangkan sehingga memudahkan mereka mengayuhnya. Posisi roda juga
tidak sejajar namun dibuat agak melengkung. Bahkan beberapa dari mereka yang
merupakan atlet penyandang disabilitas memodifikasi kursi rodanya hingga
menyerupai kursi balap yang memudahkan mereka bergerak. Dengan kursi roda yang
sudah dimodifikasi sedemikian rupa membuat mereka mengendarai kursi rodanya bak
pengendara motor dan mobil yang kerap mengutak-atik tongkrongannya.
Merupakan sebuah pemandangan biasa
melihat para pemakai kursi roda ini
bergerak bebas kesana kemari, bermain basket, bermain tenis dan
rangkaian olahraga lain yang mereka kuasai. Mereka sama sekali tidak canggung
memakai kursi roda layaknya pemakai kacamata baca untuk membantu mata minus.
Dalam beberapa kesempatan ketika kami
harus berjalan menempuh jarak yang cukup jauh beberapa rekan peserta training
akan berbaris seperti lokomotif kereta api. Paling depan adalah dia yang
memakai kursi roda listrik, di belakangnya pemakai kursi roda manual akan saling
memegang bagian belakang kursi roda rekannya. Dengan cara ini mereka tidak
perlu capek-capek mengayuh. Sambil tertawa riang 3 hingga 8 kursi roda akan
berjajar mengular.
Hal tersebut menyadarkan saya bahwa saya harus
berdamai dengan kursi roda. Bahwa saya bukan lagi menganggap berkursi roda
bukan sekedar asesoris semata, tapi menjadi sebuah kebutuhan. Saya belajar
untuk menyadari bahwa tidak perlu malu menggunakan kursi roda karena itu adalah
alat bantu yang memang kita butuhkan. Seperti mereka teman-teman saya yang
menjadikan kondisi fisik mereka menjadi sebuah penghalang mereka mewujudkan
harapan-harapannya. Mark Hansen dan Molly Rogers tetap bisa menjadi seorang
atlet tenis handal dengan kursi rodanya, Ruth Achienegh masih bisa bermain
basket dengan berkursi roda, Susan Sygall yang pandai menunggang kuda acapkali menyebut
dirinya ‘Wheelchair Ryder’ seperti
dia menyebut dirinya ‘Horse Ryder’.
Melihat mereka dengan wajah sumringah,
postur badan tegap dan kepercayaan diri mereka bukan lagi sosok lemah dan
tampak sakit tatkala harus bertengger di kursi roda. Namun lebih menjadikan
kursi roda tersebut sebagai ganti kaki untuk berjalan. Being person with disability doesn’t mean that she/he can’t do such
thing, but doing this matter in such different way.
Alicia dan
“dokter-dokter” kursi roda lainnya
membuat saya terheran-herang dengan berbagai macam ide yang dimiliki
untuk membuat sebuah kursi roda nyaman untuk dikendarai. Dari mereparasi setiap
bagian dari kursi hingga menggunakan berbagai macam bahan seperti stereofoam.
Satu kata buat mereka “keren!”.
Saya menerima tantangan Alicia untuk
mencoba menggunakan berbagai alat macam alat bantu bagi penyandang disabilitas.
Dengan cara tersebut saya mempunyai pengalaman seberapa efektif alat-alat bantu
tersebut bisa bermanfaat dan memudahkan saya menjalani berbagai aktifitas.
Hari itu saya pulang membawa sebuah walker (alat bantu berjalan yang
memiliki roda) dengan semacam tempat duduk di tengahnya. Jadi ketika saya capek
berjalan, saya bisa menggunakan walker tersebut untuk duduk. Baru sehari saya
rasakan alat tersebut tidak cocok untuk saya gunakan karena selain berat,
walker tidak mengurangi rasa capek saya menempuh jarak beberapa blok tersebut.
Selain itu tempat duduk yang terdapat pada walker
tersebut terlalu tinggi sehingga saya merasa kesulitan untuk menaikinya.
Setelah walker saya kembalikan beberapa hari kemudian Alicia datang pada
saya membawa sebuah kursi roda. Sebuah kursi roda yang terbuat dari bahan yang
ringan. Kursi roda seperti inilah yang sering saya lihat ada di Indonesia.
Kursi roda yang biasanya ada di rumah sakit yang terbuat dari bahan alumunium
dengan tempat duduk kanvas dan mudah dilipat.
Dengan meminta maaf
Alicia menerangkan bahwa sejauh ini baru kursi roda ini yang bisa dia temukan
untuk saya. Kursi roda ini dibuat untuk orang dengan tinggi rata-rata. Sehingga
meskipun ini membantu saya tidak kecapekan, saya tidak bisa mengayuh sendiri
kursi roda ini. Sehingga saya masih butuh orang lain mendorong kursi roda untuk
saya.
Lebih jauh kursi roda ini juga tidak
sesuai bagi saya karena saya tidak bisa mengontrolnya. Saya pernah hampir
celaka ketika terjatuh di koridor pemberhentian bus karena kursi roda meluncur
di jalanan yang agak miring dan saya tidak mampu menghentikannya. MIUSA tetap
berusaha untuk menemukan sebuah kursi roda yang tepat untuk saya, bukan hanya
kursi roda yang bisa saya naiki namun kursi roda yang bisa saya kayuh sendiri
sehingga saya tidak harus bergantung pada orang lain untuk mendorongnya.
Selama seminggu, karena masih belum
ada kursi roda yang sesuai, untuk sementara
saya masih menggunakan kursi roda tersebut. Hingga Bill Pierce seorang “dokter”
kursi roda selain Alicia menemui saya dan menyatakan bahwa dia punya kursi roda
yang sesuai dengan saya. Beberapa hari kemudian Bill datang membawa sebuah
kursi roda berwarna pink buat saya. Kursi roda anak-anak tersebut terlihat
cantik dan kokoh, dengar rangka besi dan sandaran busa. Sayangnya belum
mempunyai bantalan yang tepat.
Istri Bill yang seorang guru TK
menemukan sebuah kursi roda anak-anak yang sesuai dengan ukuran tubuh saya.
Setelah dilakukan beberapa penyesuaian lagi seperti memasang bantalan duduk,
memendekkan sandaran kaki dan beberapa hal lainnya kursi roda tersebut sangat
pas untuk saya. Bantalan duduk yang dibuat Bill juga yang disesuaikan dengan
ukuran badan saya.
Selama sekitar 2 minggu saya
menggunakan kursi roda ini saya mulai menyadari bahwa alat ini sangat membantu.
Alicia menerangkan bahwa kondisi kaki penyandang disabilitas acapkali rentan.
Seorang penyandang disabilitas yang sehari-hari menggunakan kruk untuk
membantunya berjalan haruslah menyadari bahwa kakinya memiliki keterbatasan
kekuatan jadi jangan terlalu diforsir. Bukan berarti mereka harus selalu
menggunakan kursi roda alih-alih memakai kruk, namun sesekali mengistirahatkan
kaki dengan mengandarai kursi roda sehingga kondisi kaki tidak terlalu
terbebani. Jadi sebaiknya mereka memiliki sebuah kursi roda disamping sepasang
kruk. Alicia juga memberikan tips bagaimana memasang kruk pada bagian belakang
kursi roda. Wah benar-benar tips yang berguna.
Hal yang membahagiakan adalah ketika
Bill mengatakan bahwa saya bisa membawa kursi roda pink ini pulang bersama saya
ke Indonesia secara gratis. Wow, ini adalah suatu hal yang menyenangkan bagi
saya. Namun ada kesedihan tersendiri ketika menyadari bahwa di Indonesia saya
menemui kesulitan memakai kursi roda ini. Kondisi bangunan dan infrastruktur
yang mayoritas masih belum aksesibel bagi pemakai kursi roda membuat saya agak
ragu membawanya pulang ke Indonesia.
Namun keraguan tersebut terbantahkan
ketika salah seorang rekan saya Nguyen Thi Lan Anh, seorang perempuan yang
mengalami glass bone disease (kondisi
dimana tulang mudah patah) yang juga ibu dari seorang putra menyarankan saya
tetap membawa kursi roda ini. Dia mengatakan bahwa suatu saat ketika saya mengandung,
saya akan sangat membutuhkan kursi roda. Meskipun saya bisa berjalan dengan
baik, seperti diketahui pada umumnya penyandang disabilitas mudah sekali
terjatuh. Dalam keadaan mengandung, jatuh akan sangat berbahaya bagi janin
sehingga Anh menyarankan saya memakai kursi roda selama masa kemengandungan.
Dan di sinilah saya membawa pulang kursi
roda pink saya selama penerbangan panjang melintasi benua. Sampai saat ini
kursi roda ini masih tetap bersama saya meskipun sangat jarang sekali saya
gunakan. Dengan kondisi bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia yang
mayoritas tidak askesibel bagi penyandang disabilitas lebih mudah bagi saya
berjalan kaki ketimbang berkursi roda. Sehingga kursi roda pink saya yang
cantik lebih sering teronggok di sudut ruangan, menunggu sampai waktunya saya mengandung
dan memakainya selama 9 bulan penuh. Ya tentu saja saya tidak ingin
membahayakan nyawa saya dan calon bayi saya nantinya bukan.
Kursi roda itu juga masih teronggok di
pojok ruangan menunggu suatu saat dimana bangunan dan sarana infrastruktur di
Indonesia dibuat aksesibel bagi penyandang disabilitas. Sehingga selayaknya
warga negara lain kami juga bisa mengaksesnya dengan nyaman. Saya memiliki
mimpi bisa kesana kemari mengendarai kursi roda pink saya yang cantik dengan
aman dan nyaman.
Pemenang II lomba karya tulis “Disabilitas,
Hukum dan Keadilan” kategori Khusus dengan tema “Perjuangan dan Eksistensi
Disabilitas untuk Mencapai Kemandirian, Kesejahteraan dan Keadilan”
http://solider.or.id
Senin, 14 januari 2013