Selama 23 hari
berada di Eugene, Oregon, Amerika Serikat ada bayak manfaat
yang dapat saya petik. Bersama dengan 29 perempuan difabel yang berasal dari 29
negara kami berbagi pengalaman serta belajar menganai hal-hal baru dari negara
maju seperti Amerika serikat.
Eugene
merupakan kota terbesar kedua di negara bagian Oregon setelah Portland.
Eugene juga merupakan kota yang aksesibel bagi difabel. Semua jenis
bangunan dan fasilitas umun di kota
tersebut memperhatikan kebutuhan difabel dan kelompom rentan. Hal tersebut
terlihat diantaranya adalah: tempat parkir khusus difabel di tempat parkir
umum, setiap trotoar pasti memiliki ramp, setiap bangunan bertingkat dilengkapi
dengan lift khusus bagi difabel dengan tombol-tombol yang aksesibel, kendaraan
umum (bus) yang aksesibel, penyebrangan jalan yang aksesibel, dll.
Selain bangunan
fisik yang aksesibel, kota
ini juga memiliki fasilitas lain yang ramah bagi difabel. Ada
beberapa hal penting yang saya catat bisa diterapkan di Indonesia untuk
masa yang akan datang. Beberapa hal itu mencakup:
1.
Sarana transportasi umum
Eugene memiliki
sebuah system transportasi umum yang bernama Lane Transit District yang biasa
disebut LTD bus atau cukup LTD. LTD merupakan alat transportasi yang akan kami
gunakan selama mengikuti kegiatan di sini.
LTD merupakan
sebuah system transportasi yang 100% aksesibel bagi difabel. Semua jenis
difabilitas mampu mengakses alat transportasi ini dengan aman dan nyaman.
Direktur LTD
(yang adalah seorang perempuan) yang memaparkan bagaimana cara kerja LTD dan
bagaimana mereka bisa mencapai system yang 100% aksesibel. Mereka juga membawa
sabuah bus dan salah satu pengemudinya untuk menunjukkan pada kami secara
langsung bagaimana bus tersebut bekerja sehingga kami mudah untuk mengaksesnya.
Setiap bus LTD
memiliki 2 tempat khusus di bagian depan dengan kursi yang bisa dilipat
sehingga kursi roda bisa masuk. Area ini memiliki sabuk pengaman yang menjamin
keselamatan pemakai kursi roda selama dalam perjalanan. Biasanya pengemudi bus
akan memastikan kursi roda terpasang di tempatnya dengan aman dan nyaman
sebelum menjalankan kendaraannya. Bus juga bisa dinaik-turunkan sehingga
memudahkan penumpang untuk masuk ke dalamnya. Selain itu bus juga memiliki ramp
di pintu bagian depan yang membuat pemakai kursi roda mampu naik bus tanpa
bantuan dari orang lain.
Selama
pengalaman saya naik bus LTD, baik pengemudi maupun sesama penumpang akan
dengan senang hati untuk menawarkan bantuan terhadap difabel jika memang
dibutuhkan. Biasanya setiap difabel dipastikan masuk ke bus dan duduk dengan
nyaman sebelum penumpang lain masuk.
Kemudian di
sepanjang kursi depan terdapat tanda peringatan bahwa area ini diprioritaskan
bagi penumpang difabel dan orang tua. Biasanya area ini sengaja dikosongkan,
atau ketika ada penumpang difabel/orang tua maka tanpa diminta penumpang non
difabel/orang tua akan pindah dan memberikan tempatnya.
Untuk naik
ataupun turun bus, ada bus stop khusus. Setiap bus stop dilengkapi dengan nomor
tertentu yang mengindikasikan nomor yang menjadi rute bus. Ketika ada orang
yang berada di depan halte otomatis pengemudi bus dengan nomor yang sesuai akan
berhenti. Untuk turun dari bus penumpang tinggal menarik panel atau menekan
tombol yang berada di dekat jendela di sisi samping kanan kiri bus. Jika tombol
berbunyi maka pengemudi akan berhenti pada bus stop di depannya.
2.
Pendidikan inklusi
Diketahui bahwa
di Amerika berhasilnya petisi 504 membuat pemerintah memiliki tanggung jawab
untuk memastikan difabel mendapatkan haknya, termasuk hak pendidikan. Seorang
anak difabel tidak boleh dimasukkan ke dalam sekolah khusus. Untuk itu
pemerintah menyediakan dana khusus untuk memenuhi kebutuhan anak difabel
tersebut selama di sekolah, seperti menyediakan penterjemah bahasa isyarat bagi
siswa tuna rungu, menyediakan buku dengan huruf braile bagi siswa tuna netra,
serta menyediakan gedung yang aksesible bagi difabel.
Hal yang membuat
saya dan beberapa rekan agak heran adalah, di sana semua jenis difabilitas mampu dilayani
dengan baik di sekolah-sekolah umum. Beberapa hal memang perlu dilakukan supaya
adanya siswa difabel di dalam kelas tidak mengganggu proses pembelajaran di
kelas, dan siswa difabel merasa nyaman seperti siwa lainnya yang non difabel.
Beberapa hal yang dilakukan antara lain mempersiapkan siswa tuna rungu 15 menit
sebelum pelajaran dimulai bersama dengan penterjemah bahasa isyarat yang
mendampinginya.
Selain itu ada
pelatihan bagi pengajar untuk berperspektif terhadap difabel. Pelatihan ini
diadakan secara berkala sehingga setiap pengajar memiliki kemampuan untuk
menangani setiap siswa difabel yang berada di kelasnya.
Pengajar yang
berperspektif difabel memegang kunci penting bagi keberhasilan pendidikan bagi
siswa difabel. Dari pengajar inilah lingkungan kondusif bagi pendidikan difabel
bisa diciptakan. Adanya kesadaran bagi siswa lainnya yang non difabel, siswa
difabel bisa diterima dengan baik di kelasnya. Selain menghimpun kesadaran dari
siswa non-difabel, pengajar juga berkewajiban menghimpun kesadaran dari
keluarga terutama keluarga dari siswa difabel. Dengan adanya kesadaran di
lingkungan difabel inilah maka pendidikan inklusi berhasil diwujudkan.
*
Petisi 504 adalah sebuah tonggak suksesnya pergerakan difabel di Amerika
Serikat dalam memperjuangkan haknya. Semenjak petisi ini disyahkan oleh
pemerintah, hak-hak difabel diakui dan mendapat jaminan dari negara
3.
Penyediaan lapangan pekerjaan bagi difabel
Selama berada di
sana saya
sempat bertemu dan menanyakan banyak hal pada 2 orang yang memiliki multiple
difabilitas namun mampu bekerja.
a.
Sam
Sam
adalah seorang penderita celebral palsy. Sehari-hari dia hanya bisa duduk di
kursi roda dan sulit untuk melakukan kegiatan lain. Sam bekerja untk
menghancurkan dokumen kantor yang sudah tidak terpakai. Sam pergi ke
kantor-kantor yang membutuhkan tenaganya. Sam memiliki seorang PA (personal
assistant) yang membantu membawanya pergi ke kantor-kantor tersebut dan
membatunya memasukkan dokumen ke mesin penghancur kertas.
Sam
dibayar perjam dengan upah minimal yang berlaku di negara bagian tersebut dan
bekerja sesuai dengan kemampuannya. Jika dalam sehari dia hanya bisa bekerja 3
jam maka Sam hanya akan bekerja selama 3 jam perhari.
b.
Tom
Tom
juga seorang penyandang multiple disabilitas. Sehari-harinya Tom memakai kursi
roda elektrik. Tom adalah seorang agen penjualan online. Tom bisa bekerja dari
rumah menggunakan fasilitas internet. Sama seperti Sam Tom juga memiliki PA.
Tom dibayar berdasarkan komisi dari penjualan yang dapat dia lakukan.
Catatan: seorang PA penyandang multiple
disabilitas biasanya juga seorang difabel. Mereka bekerja dan dibayar untuk
sebagai seorang PA. Ada
sebuah organisasi di Amerika yang khusus mencarikan dana untuk membayar PA
tersebut.
Selain Tom dan
Sam saya juga sempat bertemu dengan Felicia. Felicia adalah seorang pengguna
kursi roda elektrik, tidak seperti Sam dan Tom Felicia tidak memerlukan PA
dalam menjalani pekerjaannya. Felicia bekerja pada LTD sebagai pemberi arahan
penumpang. Sehari-harinya dia berkeliling stasiun untuk memberikan informasi
kepada penumpang tentang system LTD bus. Kerja Felicia memudahkan penumpang
lebih mudah menggunakan alat transportasi ini sehingga meningkatkan jumlah
penumpang LTD bus. Selain Felicia TLD juga mempekerjakan difabel lain untuk
posisi yang sama.
4.
Kesehatan bagi perempuan difabel dan upaya menghindari
kekerasan terhadap perempuan difabel
Saya dan
rekan-rekan juga berkesempatan berdiskusi bersama beberapa orang narasumber
tentang permasalahan seputar perempuan. Beberapa topic yang diangkat adalah
seputar pengendalian kelahiran,
kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa hal yang kadang
dianggap tabu dibahas dalam sesi ini bersama narasumber yang merupakan praktisi
berpengalaman dalam bidangnya.
Perempuan
difabel merupakan kelompok yang minim akses dan rentan terhadap kekerasan.
Selama ini permasalahan seputar perempuan jarang diangkat ke permukaan. Jadi
sesi ini menjadi kesempatan emas bagi kami perempuan difabel untuk bertanya dan
bertukar pikiran.
Selain itu kami
belajar teknik self defence. Pada mulanya saya sempat berfikir teknik yang akan
dibahas adalah dasar-dasar ilmu bela diri, rasanya akan sulit sekali difabel
seperti kami mendalami teknik-teknik bela diri.
Namu pada
kenyataannya teknik bela diri yang dibahas dalam sesi ini bukan seperti apa
yang saya bayangkan sebelumnya. Teknik-teknik sederhana yang sangat bermanfaat
bagi kami. Beberapa teknik dasar yang diajarkan adalah bagaimana menghindari
kekerasan menimpa diri kita, dan bagaimana melawan jika hal ini sampai terjadi.
Hal dasar yang
diperlukan untuk menghindari kekerasan menimpa kita adalah memperlihatkan sikap
orang yang tidak mudah diserang. Diketahui bahwa pelaku tindak kekerasan
memilih korban yang paling mudah diserang. Seseorang yang memiliki sikap tidak
percaya diri, tunduk dan pasrah lebih mudah diserang dibandingkan orang yang
bersikap penuh percaya diri dan tidak pasrah.
Namun ketika
penyerangan itu sampai terjadi, mengingat perempuan difabel sering dianggap
lemah maka ada beberapa cara yang bisa dilakukan: Langkah pertama adalah dengan
lantang mengatakan TIDAK, ketika seseorang datang dan mengganggu wilayah privacy
kita, meskipun dengan cara yang baik namun kita kita tidak menyukainya tetap
katakana TIDAK dengan lantang.
Langkah kedua
adalah menggunakan beberapa teknik dasar. Teknik dasar membela diri itu
diantaranya adalah mengetahui tititk-titik tertentu di tubuh penyerang, yang
ketika diserang akan berakibat fatal. Selain menggunakan tangan kosong kita
juga menggunakan alat bantu yang kita miliki untuk menyerang seperti memukulkan
kruk penyangga jalan (bagi penderita polio) atau menabrak kaki penyerang dengan
kursi roda.
Langkah ketiga
adalah meminta bantuan. Jika kita dalam kesulitan dalam menghadapi situasi
penyerangan, lebih baik meminta orang lain untuk membantu.
5.
Sarana rekreasi dan olahraga
Selama berada di
USA, kami diperkenalkan dengan beberapa sarana rekreasi dan olahraga yang
aksesibel terhadap difabel. Tercatat ada 3 jenis kegiatan yang kami ikuti
yaitu: berenang, rafting dan rope challenge.
a.
Kolam renang yang aksesible bagi difabel
Ada sesi dimana semua peserta WILD program beserta host family diajak
untuk berenang bersama di sebuah kolam renang yang terletak sekitar 30 menit
berkendara dari pusat kota Eugene.
Kolam renang ini didesain mampu mengakomodir beberapa jenis disabilitas.
Selain tangga, ada jalur khusus melandai seperti ramp di pinggir kolam sehingga
kursi rod bisa masuk ke kolam.
Selain itu, di kolam renang tersebut juga disediakan beberapa alat
tambahan yang memungkinkan difabel berenang dengan aman.
b.
Rafting di McKenzie River
Rafting merupakan sebuah aktivitas menantang yang membutuhkan kondisi
fisik prima. Hampir tak pernah terbayangkan di benak saya bahwa suatu hari saya
akan dapat melakoni kegiatan satu ini.
McKenzie River adalah sebuah sungai besar yang melintas di wilayah
Oregon. Hulu sungai terletak di pegunungan yang sering kali tertutup salju
membuat sungai ini berair sangat dingin. Saya sempat merasakan betapa dingin
airnya karena di tengah perjalanan Jack –pemandu kegiatan rafting professional
yang mendampingi kami– telah dengan sukses memprovokasi saya untuk menceburkan
diri di sungai.
Sarana rafting diubah sedemikian rupa sehingga aman bagi difabel untuk
menaikinya. Beberapa perubahan tersebut di antaranya adalah pemasangan kursi
tambahan pada perahu karet yang dipakai rafting.
Dengan keamanan yang terjamin, melintasi sungai dengan arus deras di
beberapa titik menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan.
c.
Rope challenge
Pada hari ketiga kegiatan kami dibawa ke sebuah hutan pinus untuk
mengikuti salah satu kegiatan out door berupa rope challenge. Ini merupakan
kegiatan semacam outbond. Rangkaian kegiatan yang harus kami ikuti di antaranya
adalah adu melilitkan tali temali (teamwork), mempertahankan keseimbangan di
atas balok kayu yang bisa berputar ke 3600 arah (teamwork) dan
tantangan bergelayutan puluhan meter di atas tanah dengan hanya diikat tali
(perorangan)
Meski beberapa peserta ketakutan ketika harus bergelantungan puluhan
meter di atas tanah, semuanya mampu mengikuti tantangan dengan baik dan aman.
Demikian
sekelumit cerita yang dapat saya bagikan berkaitan dengan kegiatan saya selama
di USA. Satu hal menonjol yang saya lihat dari penduduk Amerika adalah betapa
mereka menghormati hak-hak difabel, kesadaran itu terbentuk secara merata bukan
hanya kesadaran parsial. Sesuatu yang sangat ingin saya temui di Indonesia.
Saya masih memiliki harapan itu terwujud suatu hari nanti. Semoga.