Senin, 18 Maret 2013

PENYANDANG DISABILITAS DIANGGAP SEBAGAI ORANG SAKIT DI BANDARA


Pagi ini saya membaca di wall facebook seorang teman. Dia yang seorang penyandang disabilitas mengeluhkan bahwa untuk kesekian kalinya terpaksa menandatangani surat pernyataan ketika berada di bandara. Dalam keluhannya dia menyatakan bahwa dia merasa diperlakukan seperti orang sakit karena kedifabelannya.
Obrolan berkembang menjadi panjang ketika ternyata banyak rekan-rekan penyandang disabilitas yang mengalami kejadian serupa ketika hendak menaiki pesawat. Bahkan ada yang menyindir karena penyandang disabilitas dianggap sakit maka ketika mereka diberi racun arsenic (seperti yang terjadi pada kasus kematian alm Munir) maka tidak akan ada penyelidikan lebih lanjut.
Hal tersebut sempat membuat saya tertegun. Sama seperti mereka, saya juga pernah mengalami kejadian serupa ketika hendak terbang dari bandara Soetta Jakarta pada pertengahan 2010 lalu.
Waktu itu saya pulang dari mengikuti kegiatan training di Amerika pada bulan Agustus 2010. Di kegiatan tersebut saya mendapatkan sebuah kursi roda berwarna pink yang diberikan secara cuma-cuma untuk saya bawa pulang ke Indonesia. Susan Sygall - CEO MIUSA- dan rekannya Bill Pierce mengusahakan kursi roda yang sesuai dengan ukuran tubuh saya. Susan juga memberikan beberapa tips untuk membawa kursi roda secara aman selama penerbangan, yaitu dengan meminta kru penerbangan menempatkan kursi roda itu bersama saya. Artinya saya selalu memakai kursi roda tersebut dari dan sampai ke pintu pesawat.
Semua berjalan lancar, selama melewati beberapa bandara yaitu di Eugene, San Fransisco dan Hongkong saya sama sekali tidak mendapati masalah. Petugas bandara dan kru pesawat sangat kooperatif dan menghargai kebutuhan penyandang disabilitas seperti saya. Satu-satunya pertanyaan yang mereka sampaikan hanyalah apa saya bisa berjalan dari pintu pesawat ke tempat duduk saya, sebab jika tidak mereka akan menyediakan kursi roda khusus yang disesuaikan dengan ruangan di pesawat.
Masalah baru saya dapati ketika hendak terbang dari Jakarta ke Jogjakarta. Ketika saya check in di Terminal 2 Bandara Soetta, saya disarankan menghubungi help desk untuk mendapatkan wheelchair assistant. Di help desk petugas menanyakan beberapa pertanyaan tentang identitas saya untuk ditulis dalam sebuah berkas. Saya belum pernah mengalami prosedur ini karena biasanya kru pesawat yang menyediakan wheelchair assistant tanpa ada syarat apapun.
Teringat juga pesan rekan saya mbak Mimi Lusli (seorang tuna netra yang juga seorang yang aktif mengkampanyekan hak penyandang disabilitas di Indonesia), dia menyarankan untuk tidak menandatangani surat pernyataan apapun di bandara. Maka saya meminta petugas untuk membaca berkas tersebut sebelum membubuhkan tanda tangan. Setelah membaca  saya menemukan ada beberapa poin dalam berkas tersebut yang membuat saya kehilangan beberapa hak selama penerbangan. Hal itu tentu saja sangat merugikan, saya bukan orang yang berada dalam kondisi tidak boleh terbang dengan alasan kesehatan. Saya menolak menandatangani surat tersebut. Petugas tetap memaksa saya menandatanganinya sehingga saya harus berdebat dengan 2 orang petugas. Awalnya petugas menyatakan surat tersebut hanyalah prosedur untuk membawa kursi roda saya. Ini kali pertama saya membawa kursi roda sendiri, biasanya saya memakai kursi roda yang disediakan kru penerbangan. Namun saya tetap bersikukuh karena yang saya baca tidak ada klausul tersebut di surat tersebut.
Melihat ada keributan, security bandara akhirnya mendekati dan melerai. Security tersebutlah yang akhirnya menyarankan petugas dari help desk untuk tidak memaksa saya menandatangani surat yang tidak mau saya tanda tangani. Mereka akhirnya mengalah, dengan muka masam seorang petugas mendorong kursi roda saya. Saya lega telah berhasil mempertahankan hak saya, namun kelegaan itu hanyak berlangsung sebentar karena saya melihat seorang ibu yang memakai kursi roda tampak membawa surat yang saya tolak untuk tanda tangani.
Saya sangat prihatin, mengapa ketika berada di negara orang mereka menghargai hak-hak saya, sementara ketika berada di negara sendiri justru perlakuan diskriminatif yang saya peroleh. Bukan berarti saya tidak mencintai Indonesia, namun tetap di negara ini ada system yang salah dan itu harus diperbaiki untuk menjadi Indonesia yang lebih baik lagi.

Selasa, 12 Februari 2013

SAYA DAN KURSI RODA


Saya pernah menganggap kursi roda dan saya tidak pernah cocok. Dulu ketika ada orang yang mengusulkan untuk memakai kursi roda saya akan menolak secara terang-terangan. Pasalnya saya merasa masih mampu berjalan dengan baik, meskipun menjadi lebih mudah lelah dibanding kebanyakan orang. Alasan lain adalah saya merasa risih ketika orang memberi perhatian lebih (malu kalau nantinya banyak orang yang memperhatikan) juga keribetan yang terjadi karena mayoritas bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia tidak aksesibel terhadap pemakai kursi roda.
          Oleh karena itu saya lebih nyaman beraktifitas dengan berjalan kaki, meskipun masih terkendala oleh banyak hal. Diantara kendala yang saya hadapi adalah: keluarga atau rekan yang mengantarkan terpaksa mencari tempat parkir tedekat, di beberapa lokasi saya terpaksa lebih banyak duduk dan menunggu karena kecapekan sementara yang lain melanjutkan berjalan.
          Lebih lanjut salah seorang rekan saya penderita polio yang menggunakan kruk pernah mengatakan bahwa kursi roda akan membuat pemakainya malas dan bergantung sehingga nantinya dia tidak akan bisa lepas dari kursi rodanya. Dia bersikeras menggunakan kruk untuk menyangga kakinya dan menolak keras menggunakan kursi roda.
          Hal-hal tersebut membuat saya setengah antipati menggunakan kursi roda.
          Namun kemudian antipati saya berubah menjadi ketertarikan ketika saya bertemu dengan  Alica, seorang pemakai kursi roda yang berasal dari dari Mexico yang juga memiliki keahlian mengutak-atik kursi roda. Saya bertemu dengannya ketika mengikuti sebuah training kepemimpinan bagi perempuan penyadang disabilitas di Amerika pada 2010 lalu. Alicia yang merupakan volunteer dari MIUSA (organisasi yang menyelenggarakan kegiatan training tersebut). Di situ selain sebagai penterjemah bahasa Spanyol Alicia juga menjadi salah satu “dokter” kursi roda.
          Cuaca dingin ditambah kelelahan setelah penerbangan panjang selama 22 jam dan berjam-jam transit membuat kondisi saya drop. Pada hari pertama tinggal bersama host family (keluarga dimana saya tinggal selama mengkuti kegiatan training), saya menyadari bahwa berjalan dari rumah host family ke pemberhentian bus yang hanya berjarak beberapa blok itu terasa sangat melelahkan.
          Ketika saya menemui Alicia dan menceritakan kesulitan tersebut, dia menyarankan pada saya untuk menggunakan kursi roda. Menyadari keengganan saya dia memberikan cara yang lebih persuasive.
          “Kamu di sini mengikuti sebuah kegiatan baru di tempat yang baru. Apakah kamu tidak tertarik untuk mencoba segala hal baru juga?” Katanya menantang saya untuk mencoba.
          Dan ya. Saya sangat tertarik untuk mencobanya. Setidaknya di sini ada beberapa alat bantu yang bisa saya coba pakai dan sejauh mana alat bantu tersebut efektif untuk saya gunakan.
          Alicia dan teman-teman dari MIUSA memiliki banyak rekomendasi alat bantu yang digunakan penyandang disabilitas. Dari MIUSA saya mengetahui ada banyak sekali jenis kursi roda, bukan hanya kursi roda manual dan kursi roda listrik seperti yang sebelumnya saya ketahui.
          Beberapa penderita multiple disabilitas menggunakan kursi roda yang berbeda pula. Saya bertemu dengan seorang penyandang multiple disabilitas yang kursi rodanya dilengkapi sensor khusus yang membuatnya bisa mengoperasikan computer melalui sensor tersebut. Saya juga melihat kursi roda yang dilengkapi sabuk pengaman yang membuat pemakainya yang menderita cerebral palsy bisa duduk dengan nyaman di atasnya.
          Kursi roda berbeda-beda tergantung dari pemakainya. Beberapa staf dan volunteer MIUSA yang menggunakan kursi roda dengan beberapa variasi. Biasanya lengan kursi akan dihilangkan sehingga memudahkan mereka mengayuhnya. Posisi roda juga tidak sejajar namun dibuat agak melengkung. Bahkan beberapa dari mereka yang merupakan atlet penyandang disabilitas memodifikasi kursi rodanya hingga menyerupai kursi balap yang memudahkan mereka bergerak. Dengan kursi roda yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa membuat mereka mengendarai kursi rodanya bak pengendara motor dan mobil yang kerap mengutak-atik tongkrongannya.
          Merupakan sebuah pemandangan biasa melihat para pemakai kursi roda ini  bergerak bebas kesana kemari, bermain basket, bermain tenis dan rangkaian olahraga lain yang mereka kuasai. Mereka sama sekali tidak canggung memakai kursi roda layaknya pemakai kacamata baca untuk membantu mata minus.
          Dalam beberapa kesempatan ketika kami harus berjalan menempuh jarak yang cukup jauh beberapa rekan peserta training akan berbaris seperti lokomotif kereta api. Paling depan adalah dia yang memakai kursi roda listrik, di belakangnya pemakai kursi roda manual akan saling memegang bagian belakang kursi roda rekannya. Dengan cara ini mereka tidak perlu capek-capek mengayuh. Sambil tertawa riang 3 hingga 8 kursi roda akan berjajar mengular.
           Hal tersebut menyadarkan saya bahwa saya harus berdamai dengan kursi roda. Bahwa saya bukan lagi menganggap berkursi roda bukan sekedar asesoris semata, tapi menjadi sebuah kebutuhan. Saya belajar untuk menyadari bahwa tidak perlu malu menggunakan kursi roda karena itu adalah alat bantu yang memang kita butuhkan. Seperti mereka teman-teman saya yang menjadikan kondisi fisik mereka menjadi sebuah penghalang mereka mewujudkan harapan-harapannya. Mark Hansen dan Molly Rogers tetap bisa menjadi seorang atlet tenis handal dengan kursi rodanya, Ruth Achienegh masih bisa bermain basket dengan berkursi roda, Susan Sygall yang pandai menunggang kuda acapkali menyebut dirinya ‘Wheelchair Ryder’ seperti dia menyebut dirinya ‘Horse Ryder’.
          Melihat mereka dengan wajah sumringah, postur badan tegap dan kepercayaan diri mereka bukan lagi sosok lemah dan tampak sakit tatkala harus bertengger di kursi roda. Namun lebih menjadikan kursi roda tersebut sebagai ganti kaki untuk berjalan. Being person with disability doesn’t mean that she/he can’t do such thing, but doing this matter in such different way.
Alicia dan “dokter-dokter” kursi roda lainnya  membuat saya terheran-herang dengan berbagai macam ide yang dimiliki untuk membuat sebuah kursi roda nyaman untuk dikendarai. Dari mereparasi setiap bagian dari kursi hingga menggunakan berbagai macam bahan seperti stereofoam. Satu kata buat mereka “keren!”.
          Saya menerima tantangan Alicia untuk mencoba menggunakan berbagai alat macam alat bantu bagi penyandang disabilitas. Dengan cara tersebut saya mempunyai pengalaman seberapa efektif alat-alat bantu tersebut bisa bermanfaat dan memudahkan saya menjalani berbagai aktifitas.
          Hari itu saya pulang membawa sebuah walker (alat bantu berjalan yang memiliki roda) dengan semacam tempat duduk di tengahnya. Jadi ketika saya capek berjalan, saya bisa menggunakan walker tersebut untuk duduk. Baru sehari saya rasakan alat tersebut tidak cocok untuk saya gunakan karena selain berat, walker tidak mengurangi rasa capek saya menempuh jarak beberapa blok tersebut. Selain itu tempat duduk yang terdapat pada walker tersebut terlalu tinggi sehingga saya merasa kesulitan untuk menaikinya.
          Setelah walker saya kembalikan beberapa hari kemudian Alicia datang pada saya membawa sebuah kursi roda. Sebuah kursi roda yang terbuat dari bahan yang ringan. Kursi roda seperti inilah yang sering saya lihat ada di Indonesia. Kursi roda yang biasanya ada di rumah sakit yang terbuat dari bahan alumunium dengan tempat duduk kanvas dan mudah dilipat.
Dengan meminta maaf Alicia menerangkan bahwa sejauh ini baru kursi roda ini yang bisa dia temukan untuk saya. Kursi roda ini dibuat untuk orang dengan tinggi rata-rata. Sehingga meskipun ini membantu saya tidak kecapekan, saya tidak bisa mengayuh sendiri kursi roda ini. Sehingga saya masih butuh orang lain mendorong kursi roda untuk saya.
          Lebih jauh kursi roda ini juga tidak sesuai bagi saya karena saya tidak bisa mengontrolnya. Saya pernah hampir celaka ketika terjatuh di koridor pemberhentian bus karena kursi roda meluncur di jalanan yang agak miring dan saya tidak mampu menghentikannya. MIUSA tetap berusaha untuk menemukan sebuah kursi roda yang tepat untuk saya, bukan hanya kursi roda yang bisa saya naiki namun kursi roda yang bisa saya kayuh sendiri sehingga saya tidak harus bergantung pada orang lain untuk mendorongnya.
          Selama seminggu, karena masih belum ada kursi roda yang sesuai, untuk  sementara saya masih menggunakan kursi roda tersebut. Hingga Bill Pierce seorang “dokter” kursi roda selain Alicia menemui saya dan menyatakan bahwa dia punya kursi roda yang sesuai dengan saya. Beberapa hari kemudian Bill datang membawa sebuah kursi roda berwarna pink buat saya. Kursi roda anak-anak tersebut terlihat cantik dan kokoh, dengar rangka besi dan sandaran busa. Sayangnya belum mempunyai bantalan yang tepat.
          Istri Bill yang seorang guru TK menemukan sebuah kursi roda anak-anak yang sesuai dengan ukuran tubuh saya. Setelah dilakukan beberapa penyesuaian lagi seperti memasang bantalan duduk, memendekkan sandaran kaki dan beberapa hal lainnya kursi roda tersebut sangat pas untuk saya. Bantalan duduk yang dibuat Bill juga yang disesuaikan dengan ukuran badan saya.
          Selama sekitar 2 minggu saya menggunakan kursi roda ini saya mulai menyadari bahwa alat ini sangat membantu. Alicia menerangkan bahwa kondisi kaki penyandang disabilitas acapkali rentan. Seorang penyandang disabilitas yang sehari-hari menggunakan kruk untuk membantunya berjalan haruslah menyadari bahwa kakinya memiliki keterbatasan kekuatan jadi jangan terlalu diforsir. Bukan berarti mereka harus selalu menggunakan kursi roda alih-alih memakai kruk, namun sesekali mengistirahatkan kaki dengan mengandarai kursi roda sehingga kondisi kaki tidak terlalu terbebani. Jadi sebaiknya mereka memiliki sebuah kursi roda disamping sepasang kruk. Alicia juga memberikan tips bagaimana memasang kruk pada bagian belakang kursi roda. Wah benar-benar tips yang berguna.
          Hal yang membahagiakan adalah ketika Bill mengatakan bahwa saya bisa membawa kursi roda pink ini pulang bersama saya ke Indonesia secara gratis. Wow, ini adalah suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Namun ada kesedihan tersendiri ketika menyadari bahwa di Indonesia saya menemui kesulitan memakai kursi roda ini. Kondisi bangunan dan infrastruktur yang mayoritas masih belum aksesibel bagi pemakai kursi roda membuat saya agak ragu membawanya pulang ke Indonesia.
          Namun keraguan tersebut terbantahkan ketika salah seorang rekan saya Nguyen Thi Lan Anh, seorang perempuan yang mengalami glass bone disease (kondisi dimana tulang mudah patah) yang juga ibu dari seorang putra menyarankan saya tetap membawa kursi roda ini. Dia mengatakan bahwa suatu saat ketika saya mengandung, saya akan sangat membutuhkan kursi roda. Meskipun saya bisa berjalan dengan baik, seperti diketahui pada umumnya penyandang disabilitas mudah sekali terjatuh. Dalam keadaan mengandung, jatuh akan sangat berbahaya bagi janin sehingga Anh menyarankan saya memakai kursi roda selama masa kemengandungan.
          Dan di sinilah saya membawa pulang kursi roda pink saya selama penerbangan panjang melintasi benua. Sampai saat ini kursi roda ini masih tetap bersama saya meskipun sangat jarang sekali saya gunakan. Dengan kondisi bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia yang mayoritas tidak askesibel bagi penyandang disabilitas lebih mudah bagi saya berjalan kaki ketimbang berkursi roda. Sehingga kursi roda pink saya yang cantik lebih sering teronggok di sudut ruangan, menunggu sampai waktunya saya mengandung dan memakainya selama 9 bulan penuh. Ya tentu saja saya tidak ingin membahayakan nyawa saya dan calon bayi saya nantinya bukan.
          Kursi roda itu juga masih teronggok di pojok ruangan menunggu suatu saat dimana bangunan dan sarana infrastruktur di Indonesia dibuat aksesibel bagi penyandang disabilitas. Sehingga selayaknya warga negara lain kami juga bisa mengaksesnya dengan nyaman. Saya memiliki mimpi bisa kesana kemari mengendarai kursi roda pink saya yang cantik dengan aman dan nyaman.

Pemenang II lomba karya tulis “Disabilitas, Hukum dan Keadilan”  kategori Khusus dengan tema “Perjuangan dan Eksistensi Disabilitas untuk Mencapai Kemandirian, Kesejahteraan dan Keadilan”

http://solider.or.id

Senin, 14 januari 2013

Selasa, 20 November 2012

A 'lil note


Listen….
Think…
And feel more…
Pity mind was no longer required
Since world is larger then we ever think
So…  Keep our mind open
And let’s learn more…

Senin, 28 Mei 2012

MENIMBA ILMU DARI NEGERI PAMAN SAM (Catatan kegiatan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan difabel sedunia-WILD Program)




Selama 23 hari berada di Eugene, Oregon, Amerika Serikat ada bayak manfaat yang dapat saya petik. Bersama dengan 29 perempuan difabel yang berasal dari 29 negara kami berbagi pengalaman serta belajar menganai hal-hal baru dari negara maju seperti Amerika serikat.
Eugene merupakan kota terbesar kedua di negara bagian Oregon setelah Portland. Eugene juga merupakan kota yang aksesibel bagi difabel. Semua jenis bangunan dan fasilitas umun di kota tersebut memperhatikan kebutuhan difabel dan kelompom rentan. Hal tersebut terlihat diantaranya adalah: tempat parkir khusus difabel di tempat parkir umum, setiap trotoar pasti memiliki ramp, setiap bangunan bertingkat dilengkapi dengan lift khusus bagi difabel dengan tombol-tombol yang aksesibel, kendaraan umum (bus) yang aksesibel, penyebrangan jalan yang aksesibel, dll.
Selain bangunan fisik yang aksesibel, kota ini juga memiliki fasilitas lain yang ramah bagi difabel. Ada beberapa hal penting yang saya catat bisa diterapkan di Indonesia untuk masa yang akan datang. Beberapa hal itu mencakup:

1.      Sarana transportasi umum
Eugene memiliki sebuah system transportasi umum yang bernama Lane Transit District yang biasa disebut LTD bus atau cukup LTD. LTD merupakan alat transportasi yang akan kami gunakan selama mengikuti kegiatan di sini.
LTD merupakan sebuah system transportasi yang 100% aksesibel bagi difabel. Semua jenis difabilitas mampu mengakses alat transportasi ini dengan aman dan nyaman.
Direktur LTD (yang adalah seorang perempuan) yang memaparkan bagaimana cara kerja LTD dan bagaimana mereka bisa mencapai system yang 100% aksesibel. Mereka juga membawa sabuah bus dan salah satu pengemudinya untuk menunjukkan pada kami secara langsung bagaimana bus tersebut bekerja sehingga kami mudah untuk mengaksesnya.
Setiap bus LTD memiliki 2 tempat khusus di bagian depan dengan kursi yang bisa dilipat sehingga kursi roda bisa masuk. Area ini memiliki sabuk pengaman yang menjamin keselamatan pemakai kursi roda selama dalam perjalanan. Biasanya pengemudi bus akan memastikan kursi roda terpasang di tempatnya dengan aman dan nyaman sebelum menjalankan kendaraannya. Bus juga bisa dinaik-turunkan sehingga memudahkan penumpang untuk masuk ke dalamnya. Selain itu bus juga memiliki ramp di pintu bagian depan yang membuat pemakai kursi roda mampu naik bus tanpa bantuan dari orang lain.
Selama pengalaman saya naik bus LTD, baik pengemudi maupun sesama penumpang akan dengan senang hati untuk menawarkan bantuan terhadap difabel jika memang dibutuhkan. Biasanya setiap difabel dipastikan masuk ke bus dan duduk dengan nyaman sebelum penumpang lain masuk.
Kemudian di sepanjang kursi depan terdapat tanda peringatan bahwa area ini diprioritaskan bagi penumpang difabel dan orang tua. Biasanya area ini sengaja dikosongkan, atau ketika ada penumpang difabel/orang tua maka tanpa diminta penumpang non difabel/orang tua akan pindah dan memberikan tempatnya.
Untuk naik ataupun turun bus, ada bus stop khusus. Setiap bus stop dilengkapi dengan nomor tertentu yang mengindikasikan nomor yang menjadi rute bus. Ketika ada orang yang berada di depan halte otomatis pengemudi bus dengan nomor yang sesuai akan berhenti. Untuk turun dari bus penumpang tinggal menarik panel atau menekan tombol yang berada di dekat jendela di sisi samping kanan kiri bus. Jika tombol berbunyi maka pengemudi akan berhenti pada bus stop di depannya.

2.      Pendidikan inklusi
Diketahui bahwa di Amerika berhasilnya petisi 504 membuat pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan difabel mendapatkan haknya, termasuk hak pendidikan. Seorang anak difabel tidak boleh dimasukkan ke dalam sekolah khusus. Untuk itu pemerintah menyediakan dana khusus untuk memenuhi kebutuhan anak difabel tersebut selama di sekolah, seperti menyediakan penterjemah bahasa isyarat bagi siswa tuna rungu, menyediakan buku dengan huruf braile bagi siswa tuna netra, serta menyediakan gedung yang aksesible bagi difabel.
Hal yang membuat saya dan beberapa rekan agak heran adalah, di sana semua jenis difabilitas mampu dilayani dengan baik di sekolah-sekolah umum. Beberapa hal memang perlu dilakukan supaya adanya siswa difabel di dalam kelas tidak mengganggu proses pembelajaran di kelas, dan siswa difabel merasa nyaman seperti siwa lainnya yang non difabel. Beberapa hal yang dilakukan antara lain mempersiapkan siswa tuna rungu 15 menit sebelum pelajaran dimulai bersama dengan penterjemah bahasa isyarat yang mendampinginya.
Selain itu ada pelatihan bagi pengajar untuk berperspektif terhadap difabel. Pelatihan ini diadakan secara berkala sehingga setiap pengajar memiliki kemampuan untuk menangani setiap siswa difabel yang berada di kelasnya.
Pengajar yang berperspektif difabel memegang kunci penting bagi keberhasilan pendidikan bagi siswa difabel. Dari pengajar inilah lingkungan kondusif bagi pendidikan difabel bisa diciptakan. Adanya kesadaran bagi siswa lainnya yang non difabel, siswa difabel bisa diterima dengan baik di kelasnya. Selain menghimpun kesadaran dari siswa non-difabel, pengajar juga berkewajiban menghimpun kesadaran dari keluarga terutama keluarga dari siswa difabel. Dengan adanya kesadaran di lingkungan difabel inilah maka pendidikan inklusi berhasil diwujudkan.
* Petisi 504 adalah sebuah tonggak suksesnya pergerakan difabel di Amerika Serikat dalam memperjuangkan haknya. Semenjak petisi ini disyahkan oleh pemerintah, hak-hak difabel diakui dan mendapat jaminan dari negara

3.      Penyediaan lapangan pekerjaan bagi difabel
Selama berada di sana saya sempat bertemu dan menanyakan banyak hal pada 2 orang yang memiliki multiple difabilitas namun mampu bekerja.
a.       Sam
Sam adalah seorang penderita celebral palsy. Sehari-hari dia hanya bisa duduk di kursi roda dan sulit untuk melakukan kegiatan lain. Sam bekerja untk menghancurkan dokumen kantor yang sudah tidak terpakai. Sam pergi ke kantor-kantor yang membutuhkan tenaganya. Sam memiliki seorang PA (personal assistant) yang membantu membawanya pergi ke kantor-kantor tersebut dan membatunya memasukkan dokumen ke mesin penghancur kertas.
Sam dibayar perjam dengan upah minimal yang berlaku di negara bagian tersebut dan bekerja sesuai dengan kemampuannya. Jika dalam sehari dia hanya bisa bekerja 3 jam maka Sam hanya akan bekerja selama 3 jam perhari.
b.      Tom
Tom juga seorang penyandang multiple disabilitas. Sehari-harinya Tom memakai kursi roda elektrik. Tom adalah seorang agen penjualan online. Tom bisa bekerja dari rumah menggunakan fasilitas internet. Sama seperti Sam Tom juga memiliki PA. Tom dibayar berdasarkan komisi dari penjualan yang dapat dia lakukan.
Catatan: seorang PA penyandang multiple disabilitas biasanya juga seorang difabel. Mereka bekerja dan dibayar untuk sebagai seorang PA. Ada sebuah organisasi di Amerika yang khusus mencarikan dana untuk membayar PA tersebut.

Selain Tom dan Sam saya juga sempat bertemu dengan Felicia. Felicia adalah seorang pengguna kursi roda elektrik, tidak seperti Sam dan Tom Felicia tidak memerlukan PA dalam menjalani pekerjaannya. Felicia bekerja pada LTD sebagai pemberi arahan penumpang. Sehari-harinya dia berkeliling stasiun untuk memberikan informasi kepada penumpang tentang system LTD bus. Kerja Felicia memudahkan penumpang lebih mudah menggunakan alat transportasi ini sehingga meningkatkan jumlah penumpang LTD bus. Selain Felicia TLD juga mempekerjakan difabel lain untuk posisi yang sama.

4.      Kesehatan bagi perempuan difabel dan upaya menghindari kekerasan terhadap perempuan difabel
Saya dan rekan-rekan juga berkesempatan berdiskusi bersama beberapa orang narasumber tentang permasalahan seputar perempuan. Beberapa topic yang diangkat adalah seputar pengendalian kelahiran, kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa hal yang kadang dianggap tabu dibahas dalam sesi ini bersama narasumber yang merupakan praktisi berpengalaman dalam bidangnya.
Perempuan difabel merupakan kelompok yang minim akses dan rentan terhadap kekerasan. Selama ini permasalahan seputar perempuan jarang diangkat ke permukaan. Jadi sesi ini menjadi kesempatan emas bagi kami perempuan difabel untuk bertanya dan bertukar pikiran.
Selain itu kami belajar teknik self defence. Pada mulanya saya sempat berfikir teknik yang akan dibahas adalah dasar-dasar ilmu bela diri, rasanya akan sulit sekali difabel seperti kami mendalami teknik-teknik bela diri.
Namu pada kenyataannya teknik bela diri yang dibahas dalam sesi ini bukan seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Teknik-teknik sederhana yang sangat bermanfaat bagi kami. Beberapa teknik dasar yang diajarkan adalah bagaimana menghindari kekerasan menimpa diri kita, dan bagaimana melawan jika hal ini sampai terjadi.
Hal dasar yang diperlukan untuk menghindari kekerasan menimpa kita adalah memperlihatkan sikap orang yang tidak mudah diserang. Diketahui bahwa pelaku tindak kekerasan memilih korban yang paling mudah diserang. Seseorang yang memiliki sikap tidak percaya diri, tunduk dan pasrah lebih mudah diserang dibandingkan orang yang bersikap penuh percaya diri dan tidak pasrah.
Namun ketika penyerangan itu sampai terjadi, mengingat perempuan difabel sering dianggap lemah maka ada beberapa cara yang bisa dilakukan: Langkah pertama adalah dengan lantang mengatakan TIDAK, ketika seseorang datang dan mengganggu wilayah privacy kita, meskipun dengan cara yang baik namun kita kita tidak menyukainya tetap katakana TIDAK dengan lantang.
Langkah kedua adalah menggunakan beberapa teknik dasar. Teknik dasar membela diri itu diantaranya adalah mengetahui tititk-titik tertentu di tubuh penyerang, yang ketika diserang akan berakibat fatal. Selain menggunakan tangan kosong kita juga menggunakan alat bantu yang kita miliki untuk menyerang seperti memukulkan kruk penyangga jalan (bagi penderita polio) atau menabrak kaki penyerang dengan kursi roda.
Langkah ketiga adalah meminta bantuan. Jika kita dalam kesulitan dalam menghadapi situasi penyerangan, lebih baik meminta orang lain untuk membantu.

5.      Sarana rekreasi dan olahraga
Selama berada di USA, kami diperkenalkan dengan beberapa sarana rekreasi dan olahraga yang aksesibel terhadap difabel. Tercatat ada 3 jenis kegiatan yang kami ikuti yaitu: berenang, rafting dan rope challenge.
a.       Kolam renang yang aksesible bagi difabel
Ada sesi dimana semua peserta WILD program beserta host family diajak untuk berenang bersama di sebuah kolam renang yang terletak sekitar 30 menit berkendara dari pusat kota Eugene.
Kolam renang ini didesain mampu mengakomodir beberapa jenis disabilitas. Selain tangga, ada jalur khusus melandai seperti ramp di pinggir kolam sehingga kursi rod bisa masuk ke kolam.
Selain itu, di kolam renang tersebut juga disediakan beberapa alat tambahan yang memungkinkan difabel berenang dengan aman.
b.      Rafting di McKenzie River
Rafting merupakan sebuah aktivitas menantang yang membutuhkan kondisi fisik prima. Hampir tak pernah terbayangkan di benak saya bahwa suatu hari saya akan dapat melakoni kegiatan satu ini.
McKenzie River adalah sebuah sungai besar yang melintas di wilayah Oregon. Hulu sungai terletak di pegunungan yang sering kali tertutup salju membuat sungai ini berair sangat dingin. Saya sempat merasakan betapa dingin airnya karena di tengah perjalanan Jack –pemandu kegiatan rafting professional yang mendampingi kami– telah dengan sukses memprovokasi saya untuk menceburkan diri di sungai.
Sarana rafting diubah sedemikian rupa sehingga aman bagi difabel untuk menaikinya. Beberapa perubahan tersebut di antaranya adalah pemasangan kursi tambahan pada perahu karet yang dipakai rafting.
Dengan keamanan yang terjamin, melintasi sungai dengan arus deras di beberapa titik menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan.
c.       Rope challenge
Pada hari ketiga kegiatan kami dibawa ke sebuah hutan pinus untuk mengikuti salah satu kegiatan out door berupa rope challenge. Ini merupakan kegiatan semacam outbond. Rangkaian kegiatan yang harus kami ikuti di antaranya adalah adu melilitkan tali temali (teamwork), mempertahankan keseimbangan di atas balok kayu yang bisa berputar ke 3600 arah (teamwork) dan tantangan bergelayutan puluhan meter di atas tanah dengan hanya diikat tali (perorangan)
Meski beberapa peserta ketakutan ketika harus bergelantungan puluhan meter di atas tanah, semuanya mampu mengikuti tantangan dengan baik dan aman.

Demikian sekelumit cerita yang dapat saya bagikan berkaitan dengan kegiatan saya selama di USA. Satu hal menonjol yang saya lihat dari penduduk Amerika adalah betapa mereka menghormati hak-hak difabel, kesadaran itu terbentuk secara merata bukan hanya kesadaran parsial. Sesuatu yang sangat ingin saya temui di Indonesia. Saya masih memiliki harapan itu terwujud suatu hari nanti. Semoga.

Senin, 06 Februari 2012

Kamis, 24 November 2011

Sekelumit dari pernikahan Ibas-Allya

Pagi ini saya menonton acara pernikahan Ibas-Allya. Acara pernikahan yang banyak dikritik karena konon menghabiskan budget fantastis. Anyway, that is not the point. Apapun kontroversi di baliknya buat saya sebuah prosesi pernikahan adalah acara yang sakral dan menarik untuk diikuti dan saya sedang tidak ingin membahas tetang kontroversi tersebut.
Satu hal yang menarik bagi saya adalah petuah pernikahan yang disampaikan oleh tokoh pendidikan Prof Arief Rahman. What a lovely words! Ceramah yang disampaikan berisi banyak kata-kata indah, banyak doa, banyak cinta dan banyak pujian atas keagungan Tuhan. Kata-kata yang disampaikan lebih pada bagaimana membangun harmonisasi sebuah pernikahan, bukan mendikte apa yang boleh dan apa yang tidak boleh (yang biasanya sangat tendensius, hanya berdasar keyakinan penceramah)
Biasanya saya sangat tidak menyukai adanya penceramah yang memberikan petuah dalam upacara pernikahan. Sangat tidak menyukai malah. Bahkan saya sering nyeletuk tidak akan mengundang penceramah semacam ini untuk berbicara di prosesi pernikahan saya nanti.
Biasanya ceramah yang dilakukan pada prosesi ini berisi petuah tentang pernikahan. Sang penceramah seringnya akan memberikan nasehat tentang hak dan kewajiban suami-istri. Yang paling mengesalkan adalah pada poin ini penceramah akan memberikan pandangan yang timpang. Penceramah (yang umumnya laki-laki) akan menekankan hak suami dan kewajiban istri. Nggak adil!
Tolok ukur yang dipakai penceramah adalah tolok ukur lama yang bias gender. Pandangan yang dipakai adalah istri merupakan “kanca wingking” bagi suami. Jadi si penceramah menekankan bahwa kewajiban istri adalah melayani kebutuhan suami, bersabar menghadapi suami, dan beberapa hal yang semakin mengecilkan peran istri sebagai rekan sejajar bagi suami.
Belum lagi penceramah akan menyisipkan joke-joke ringan tentang malam pertama. Hello!! That is something personal between us sir, no need any joke from you to do it tonight! Saya heran, adakah contain berbau pornografi tersebut layak untuk disampaikan pada audiens yang beragam. Banyak anak-anak yang ikut hadir di situ, so beware sir!
Hmm, kalau penceramahnya macam bapak professor saya mau tuh sesi petuah pernikahan diadakan. Masalahnya Prof Arif Rahman bersedia tidak ya….