Pagi ini saya
membaca di wall facebook seorang teman. Dia yang seorang penyandang disabilitas
mengeluhkan bahwa untuk kesekian kalinya terpaksa menandatangani surat
pernyataan ketika berada di bandara. Dalam keluhannya dia menyatakan bahwa dia
merasa diperlakukan seperti orang sakit karena kedifabelannya.
Obrolan
berkembang menjadi panjang ketika ternyata banyak rekan-rekan penyandang
disabilitas yang mengalami kejadian serupa ketika hendak menaiki pesawat.
Bahkan ada yang menyindir karena penyandang disabilitas dianggap sakit maka
ketika mereka diberi racun arsenic (seperti yang terjadi pada kasus kematian
alm Munir) maka tidak akan ada penyelidikan lebih lanjut.
Hal tersebut
sempat membuat saya tertegun. Sama seperti mereka, saya juga pernah mengalami
kejadian serupa ketika hendak terbang dari bandara Soetta Jakarta pada
pertengahan 2010 lalu.
Waktu itu saya
pulang dari mengikuti kegiatan training di Amerika pada bulan Agustus 2010. Di
kegiatan tersebut saya mendapatkan sebuah kursi roda berwarna pink yang
diberikan secara cuma-cuma untuk saya bawa pulang ke Indonesia. Susan Sygall -
CEO MIUSA- dan rekannya Bill Pierce mengusahakan kursi roda yang sesuai dengan
ukuran tubuh saya. Susan juga memberikan beberapa tips untuk membawa kursi roda
secara aman selama penerbangan, yaitu dengan meminta kru penerbangan
menempatkan kursi roda itu bersama saya. Artinya saya selalu memakai kursi roda
tersebut dari dan sampai ke pintu pesawat.
Semua berjalan
lancar, selama melewati beberapa bandara yaitu di Eugene, San Fransisco dan
Hongkong saya sama sekali tidak mendapati masalah. Petugas bandara dan kru
pesawat sangat kooperatif dan menghargai kebutuhan penyandang disabilitas
seperti saya. Satu-satunya pertanyaan yang mereka sampaikan hanyalah apa saya
bisa berjalan dari pintu pesawat ke tempat duduk saya, sebab jika tidak mereka
akan menyediakan kursi roda khusus yang disesuaikan dengan ruangan di pesawat.
Masalah baru
saya dapati ketika hendak terbang dari Jakarta ke Jogjakarta. Ketika saya check in di Terminal 2 Bandara Soetta, saya disarankan menghubungi help desk
untuk mendapatkan wheelchair assistant. Di help desk petugas
menanyakan beberapa pertanyaan tentang identitas saya untuk ditulis dalam
sebuah berkas. Saya belum pernah mengalami prosedur ini karena biasanya kru
pesawat yang menyediakan wheelchair assistant tanpa ada syarat apapun.
Teringat juga
pesan rekan saya mbak Mimi Lusli (seorang tuna netra yang juga seorang yang
aktif mengkampanyekan hak penyandang disabilitas di Indonesia), dia menyarankan
untuk tidak menandatangani surat pernyataan apapun di bandara. Maka saya
meminta petugas untuk membaca berkas tersebut sebelum membubuhkan tanda tangan.
Setelah membaca saya menemukan ada
beberapa poin dalam berkas tersebut yang membuat saya kehilangan beberapa hak
selama penerbangan. Hal itu tentu saja sangat merugikan, saya bukan orang yang
berada dalam kondisi tidak boleh terbang dengan alasan kesehatan. Saya menolak
menandatangani surat tersebut. Petugas tetap memaksa saya menandatanganinya
sehingga saya harus berdebat dengan 2 orang petugas. Awalnya petugas menyatakan
surat tersebut hanyalah prosedur untuk membawa kursi roda saya. Ini kali
pertama saya membawa kursi roda sendiri, biasanya saya memakai kursi roda yang
disediakan kru penerbangan. Namun saya tetap bersikukuh karena yang saya baca
tidak ada klausul tersebut di surat tersebut.
Melihat ada
keributan, security bandara akhirnya
mendekati dan melerai. Security
tersebutlah yang akhirnya menyarankan petugas dari help desk untuk tidak
memaksa saya menandatangani surat yang tidak mau saya tanda tangani. Mereka
akhirnya mengalah, dengan muka masam seorang petugas mendorong kursi roda saya.
Saya lega telah berhasil mempertahankan hak saya, namun kelegaan itu hanyak
berlangsung sebentar karena saya melihat seorang ibu yang memakai kursi roda
tampak membawa surat yang saya tolak untuk tanda tangani.
Saya sangat
prihatin, mengapa ketika berada di negara orang mereka menghargai hak-hak saya,
sementara ketika berada di negara sendiri justru perlakuan diskriminatif yang
saya peroleh. Bukan berarti saya tidak mencintai Indonesia, namun tetap di
negara ini ada system yang salah dan
itu harus diperbaiki untuk menjadi Indonesia yang lebih baik lagi.
1. saya salut pada Anda meskipun Anda disabilitas tetap eksis bahkan aktifitas anda sampai ke manca nagara.
BalasHapus2. perlu sosialisasi tentang cara memperlakukan 0rang2 yang berkebutuhan khusus terhadap awak pesawat, sehingga mereka menjadi awak pesawat yang profesional.
3. lanjutkan perjuangan agar Anda dkk.mendapatkan hak n perlakuan yang proporsional!
Terima kasih, maaf lama saya tidak memperbarui blog sehingga sangat-sangat terlambat merespon.
BalasHapusUntuk saran-sarannya saat ini saya dan rekan2 sedang dalam upaya mensosialisasikan kebutuhan difabel di indonesia. Semoga semakin banyak orang seperti anda yang mendukung kami