Senin, 18 Maret 2013

PENYANDANG DISABILITAS DIANGGAP SEBAGAI ORANG SAKIT DI BANDARA


Pagi ini saya membaca di wall facebook seorang teman. Dia yang seorang penyandang disabilitas mengeluhkan bahwa untuk kesekian kalinya terpaksa menandatangani surat pernyataan ketika berada di bandara. Dalam keluhannya dia menyatakan bahwa dia merasa diperlakukan seperti orang sakit karena kedifabelannya.
Obrolan berkembang menjadi panjang ketika ternyata banyak rekan-rekan penyandang disabilitas yang mengalami kejadian serupa ketika hendak menaiki pesawat. Bahkan ada yang menyindir karena penyandang disabilitas dianggap sakit maka ketika mereka diberi racun arsenic (seperti yang terjadi pada kasus kematian alm Munir) maka tidak akan ada penyelidikan lebih lanjut.
Hal tersebut sempat membuat saya tertegun. Sama seperti mereka, saya juga pernah mengalami kejadian serupa ketika hendak terbang dari bandara Soetta Jakarta pada pertengahan 2010 lalu.
Waktu itu saya pulang dari mengikuti kegiatan training di Amerika pada bulan Agustus 2010. Di kegiatan tersebut saya mendapatkan sebuah kursi roda berwarna pink yang diberikan secara cuma-cuma untuk saya bawa pulang ke Indonesia. Susan Sygall - CEO MIUSA- dan rekannya Bill Pierce mengusahakan kursi roda yang sesuai dengan ukuran tubuh saya. Susan juga memberikan beberapa tips untuk membawa kursi roda secara aman selama penerbangan, yaitu dengan meminta kru penerbangan menempatkan kursi roda itu bersama saya. Artinya saya selalu memakai kursi roda tersebut dari dan sampai ke pintu pesawat.
Semua berjalan lancar, selama melewati beberapa bandara yaitu di Eugene, San Fransisco dan Hongkong saya sama sekali tidak mendapati masalah. Petugas bandara dan kru pesawat sangat kooperatif dan menghargai kebutuhan penyandang disabilitas seperti saya. Satu-satunya pertanyaan yang mereka sampaikan hanyalah apa saya bisa berjalan dari pintu pesawat ke tempat duduk saya, sebab jika tidak mereka akan menyediakan kursi roda khusus yang disesuaikan dengan ruangan di pesawat.
Masalah baru saya dapati ketika hendak terbang dari Jakarta ke Jogjakarta. Ketika saya check in di Terminal 2 Bandara Soetta, saya disarankan menghubungi help desk untuk mendapatkan wheelchair assistant. Di help desk petugas menanyakan beberapa pertanyaan tentang identitas saya untuk ditulis dalam sebuah berkas. Saya belum pernah mengalami prosedur ini karena biasanya kru pesawat yang menyediakan wheelchair assistant tanpa ada syarat apapun.
Teringat juga pesan rekan saya mbak Mimi Lusli (seorang tuna netra yang juga seorang yang aktif mengkampanyekan hak penyandang disabilitas di Indonesia), dia menyarankan untuk tidak menandatangani surat pernyataan apapun di bandara. Maka saya meminta petugas untuk membaca berkas tersebut sebelum membubuhkan tanda tangan. Setelah membaca  saya menemukan ada beberapa poin dalam berkas tersebut yang membuat saya kehilangan beberapa hak selama penerbangan. Hal itu tentu saja sangat merugikan, saya bukan orang yang berada dalam kondisi tidak boleh terbang dengan alasan kesehatan. Saya menolak menandatangani surat tersebut. Petugas tetap memaksa saya menandatanganinya sehingga saya harus berdebat dengan 2 orang petugas. Awalnya petugas menyatakan surat tersebut hanyalah prosedur untuk membawa kursi roda saya. Ini kali pertama saya membawa kursi roda sendiri, biasanya saya memakai kursi roda yang disediakan kru penerbangan. Namun saya tetap bersikukuh karena yang saya baca tidak ada klausul tersebut di surat tersebut.
Melihat ada keributan, security bandara akhirnya mendekati dan melerai. Security tersebutlah yang akhirnya menyarankan petugas dari help desk untuk tidak memaksa saya menandatangani surat yang tidak mau saya tanda tangani. Mereka akhirnya mengalah, dengan muka masam seorang petugas mendorong kursi roda saya. Saya lega telah berhasil mempertahankan hak saya, namun kelegaan itu hanyak berlangsung sebentar karena saya melihat seorang ibu yang memakai kursi roda tampak membawa surat yang saya tolak untuk tanda tangani.
Saya sangat prihatin, mengapa ketika berada di negara orang mereka menghargai hak-hak saya, sementara ketika berada di negara sendiri justru perlakuan diskriminatif yang saya peroleh. Bukan berarti saya tidak mencintai Indonesia, namun tetap di negara ini ada system yang salah dan itu harus diperbaiki untuk menjadi Indonesia yang lebih baik lagi.

2 komentar:

  1. 1. saya salut pada Anda meskipun Anda disabilitas tetap eksis bahkan aktifitas anda sampai ke manca nagara.
    2. perlu sosialisasi tentang cara memperlakukan 0rang2 yang berkebutuhan khusus terhadap awak pesawat, sehingga mereka menjadi awak pesawat yang profesional.
    3. lanjutkan perjuangan agar Anda dkk.mendapatkan hak n perlakuan yang proporsional!

    BalasHapus
  2. Terima kasih, maaf lama saya tidak memperbarui blog sehingga sangat-sangat terlambat merespon.
    Untuk saran-sarannya saat ini saya dan rekan2 sedang dalam upaya mensosialisasikan kebutuhan difabel di indonesia. Semoga semakin banyak orang seperti anda yang mendukung kami

    BalasHapus