Senin, 20 Oktober 2008

Nikmatnya Kembali Ke Suasana Desa



Masih dalam suasana lebaran saya dan beberapa rekan kantor bersilaturahmi ke rumah salah satu pimpinan kantor yang terletak di daerah Susukan, Kabupaten Semarang.
Di rumah tersebut kami bersepuluh disuguhi suasana pedesaan yang asri. Mulai dari pemandangan hamparan persawahan yang siap panen di sepanjang jalan, sungai yang mengalir mengelilingi desa (saat kami melintas ada beberapa orang warga yang sedang memancing, ini sempat membuat saya yang punya hobi satu ini sangaaat sangaaat ingin bergabung) hingga rumah tujuan yang bernuansa kayu (Wow!).
Belum cukup sampai disitu saja, saat tiba kami disuguhi aneka makanan desa yang yammm!! begitu menggugah selera. Diawali dengan suguhan kacang rebus yang membuat kami jadi terlihat seperti monyet… (ha ha ha….!!!)
Selanjutnya diikuti sajian menu utama yang membuat cacing-cacing di perut jadi ikut menari. Ada nasi putih yang masih panas, tempe goreng dari tempe yang dibungkus daun dan baru setengah jadi (cita rasa tempe yang pada proses pembuatannya dibungkus daun berbeda dengan tempe yang dibungkus plastik) , lele goreng yang dimbil dari kolam di samping rumah, soto ayam kampung -kata nyonya rumah merupakan ayam piaraan dan baru saja dipotong-, beberapa macam lalap yang diambil dari kebun belakang rumah, hingga sambel yang ampun puedesnya.
Lirik kanan kiri ternyata sebagian besar rekan nambah 2 sampai 3 kali, termasuk mereka yang tadi di jalan sempet KO akibat cuaca dan jalan yang naik turun serta berkelok (eh termasuk si boss nambah juga lho!).
2 macam sambel, sambel terasi dan sambel bawang (atau kita sering menyebutnya sambel korek) yang minta ampun pedesnya. Ditambah lalap pucuk daun singkong rebus, sejenis kacang-kacangan rebus dan petai goreng. Juga tempe goreng dan lele goreng garing membuat selera makan kami berlipat-lipat. Pokoknya sajian yang ada bisa tandas das, semuanya kecuali sambel tentu saja.
Sore itu kami semua pulang dengan sukses, semua kenyaang. Masalahnya baru timbul ketika semua antri menggunakan kamar mandi, dijamin semua bauuu gara-gara petai goreng.
Kasihan tukang bersih-bersih kantor, tugasnya jadi makin berat…

Setahun Wijiasih


Hari sabtu, 12 Oktober 2008 lalu Perkumpulan Perempuan Lanjaran (PPL) mengadakan acara tasyakuran 1 tahun berdirinya Wijiasih.
Wijiasih merupakan wahana perempuan Lanjaran -Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali- berkumpul untuk membicarakan permasalahan perempuan. Tujuan utama didirikannya Wijiasih ada 2: 1. Mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; 2. Memberikan penyadaran terhadap perempuan dalam rangka mengeliminir tingkat KTPA (Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak) di wilayah Lanjaran.
Paguyuban yang didirikan pada 4 September 2007 lalu dirintis dan disesepuhi oleh mbah Suti (masih ingat tulisan saya tentang beliau beberapa waktu yang lalu). Di masa tuanya ini mbah Suti ternyata masih memiliki kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan yang dihadapi kaumnya.
Kepiawaian mbah Suti sebagai seorang organisator rupanya belum pupus termakan usia. Meski lebih banyak berada di belakang layar akibat kondisi fisiknya yang tidak lagi sekuat dulu, sumbangan pemikiran mbah Sutilah yang menjadi motor Wijiasih.
Tasyakuran yang jatuh pada suasana lebaran menjadikan acara ini sekaligus menjadi acara halal bi halal.
Acara yang berlangsung sekitar 3 jam ini dihadiri oleh anggota Wijiasih, masyarakat desa Lanjaran, pamong desa Lanjaran, staff LKTS Boyolali dan seorang Staff Ahli Menteri Kehutanan RI. Kedatangan Staff Ahli Meteri Kehutanan ini berkaitan dengan sosialisasi progam “Indonesia Menanam”. Program ini dilakukan untuk mengurangi dampak Global Warming. Dalam program rangka mensukseskan program ini Departemen Kehutanan RI menawarkan bibit tanaman gratis untuk ditanam di daerah Lanjaran yang merupakan lahan kritis (merupakan lahan miring di lereng pegunungan). Selain itu, secara pribadi staff yang berasal dari Boyolali itu memberikan sejumlah dana bagi pengembangan Wijiasih.
Sebagai penghujung acara adalah tausiah yang dibawakan oleh seorang ustad local. Tausiah mengambil tema kehidupan berdemokrasi dalam masyarakat.
Secara keseluhan rangkaian acara tasyakuran dan halal bi halal ini berjalan lancar meski pelaksanaan molor beberapa jam dari waktu yang direncanakan (rupanya budaya jam karet masih melekat erat dengan budaya masyarakat Indonesi pada umumnya). Ke depannya tugas berat masih menghadang mengingat usia Wijiasih yang masih muda sehingga butuh banyak usaha yang perlu dilakukan untuk membuat perkumpulan ini berjalan.