Kamis, 04 Desember 2008

Melepas Belenggu Diskriminasi Difabel

BAGI awam, peringatan Hari Difabel Internasional pada 3 Desember masih belum begitu familier dibandingkan dengan peringatan hari-hari yang lain. Ketidakfamilieran itu dapat dimaknai sebagai representasi kurangnya kepedulian terhadap para difabel.

Beberapa tahun belakangan, para aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah difabel sebagai ganti penyandang cacat yang secara kontekstual bersifat diskriminatif itu. Istilah difabel yang diperkenalkan pada 1998 merupakan singkatan dari frasa dalam Bahasa Inggris different ability people. Istilah difabel lebih mengacu kepada pembedaan kemampuan, bukan lagi kepada kecacatan atau ketidaksempurnaan.

Pada umumnya, kami para difabel mampu melakukan aktivitas seperti orang lain, hanya dengan cara yang berbeda. Namun begitu, meski telah diperkenalkan, penyebutan baru bagi kaum difabel yang diskriminatif itu masih melekat erat pada kaum minoritas tersebut.

Tampaknya, penggantian istilah penyandang cacat menjadi difabel masih terbatas di permukaan saja. Belum bisa menyentuh sampai pada kondisi real kaum difabel. Menyandang sebutan difabel, belum juga membuat kami bisa sepenuhnya diakui sebagai bagian dari masyarakat.

Terpinggirkan

Berdasarkan laporan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos), terdapat enam juta orang atau sekitar 3% difabel dari 200 juta penduduk Indonesia (pada saat itu). Sementara itu menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar 10 juta difabel di Indonesia (Thohari, 2008)

Data yang diperoleh itu belum sepenuhnya valid, mengingat masih banyak keberadaan difabel yang disembunyikan oleh keluarga karena masih dianggap aib. Kuantitas data tersebut masih perlu direvisi dengan mempertimbangkan keadaan Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, yang dipenuhi berbagai bencana.

Bencana yang terjadi telah membuat jumlah difabel bertambah. Bencana tsunami Aceh 2005, gempa di Yogyakarta 2006, dan sederet bencana lain yang menimpa seluruh pelosok Nusantara, membuat jumlah difabel bertambah banyak.

Dengan angka keberadaan yang cukup besar itu, ternyata perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap difabel masih sangat minim, meskipun saat ini pemerintah telah mengeluarkan sejumlah landasan hukum bagi kaum difabel.

Sebutlah beberapa di antaranya Undang-Undang (UU) 4/1997 tentang Penyandang Cacat; Peraturan Pemerintah (PP) 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan (Thohari, 2008).

Pada kenyataannya, implementasi produk hukum yang melindungi difabel dalam masyarakat masih amat mengecewakan. Perlakuan diskriminatif masih terus terjadi pada hampir semua bidang, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, juga kemudahan dalam mengakses bangunan umum dan lingkungan.

Pengalaman Pribadi

Sebagai seorang difabel, saya masih harus mengalami beberapa perlakuan diskriminatif. Saya masih beruntung; sebab dalam hal pendidikan, tidak dalam kondisi diskriminatif.

Keterbatasan yang saya miliki, masih memungkinkan untuk melaksanakan pendidikan umum. Saya masih bisa mengakses pendidikan umum di beberapa tingkat dengan dispensasi pada kegiatan fisik.

Saya bisa menyebutnya beruntung, karena ada jauh lebih banyak difabel yang tidak bisa mengakses pendidikan secara optimal.

Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tiap difabel berbeda-beda, bergantung kepada keterbatasan yang dimiliki, sementara pola pendidikan yang ada cenderung bersifat generalalisasi. Kondisi itu menyebabkan lebih banyak pendidikan yang tidak bisa diterapkan secara optimal kepada difabel.

Dalam dunia kerja, barulah perlakuan diskriminatif itu saya temui. Kurangnya tingkat kepercayaan atau dont trust dari pihak pemberi kerja sempat membuat langkah saya untuk mandiri secara ekonomi tersendat. Secara umum, kondisi itu dihadapi oleh difabel yang berusaha untuk mengakses pekerjaan di lingkungan masyarakat umum.

Kurangnya trust itu pula yang menjadi salah satu faktor difabel lebih banyak bekerja pada sektor informal dibandingkan dengan sektor formal. Dengan diperparah oleh bekal pendidikan dan modal yang tidak mencukupi, mereka hidup dalam garis kemiskinan.

Padahal, penenempatan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya, membuat difabel dapat bekerja sebaik orang lain, bahkan mungkin bisa lebih baik lagi.

Namun, pintu tersebut tertutup rapat ketika kesempatan memperoleh pekerjaan tidak dimiliki akibat kurangnya trust dari pihak pemberi kerja, sementara itu perlindungan pemerintah juga masih sangat minim. Walaupun sebenarnya dalam UU 4/1997 sudah ada aturan kesempatan kerja difabel melalui kuota 1%, namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Diskriminasi lain adalah kesulitan yang harus dihadapi kaum difabel dalam mengakses fasilitas umum, seperti gedung sekolah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Keberadaan fasilitas pendukung seperti lift dan ramp bagi pemakai kursi roda serta guilding block bagi penyandang tunanetra, masih sangat minim.

Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 35 gedung milik publik, ditemukan hanya 0,3 persen yang memberikan akses untuk dapat dinikmati bagi orang-orang difabel (Soldier, edisi ke-2, 2005). Tentu saja angka itu sangat tidak sebanding dengan jumlah difabel yang ada saat ini.

Memperingati Hari Difabel Internasional tahun ini, selayaknya kita semua menyadari bahwa kondisi kaum difabel di Indonesia masih jauh dari harapan. Hal itu terlihat dari banyaknya kaum difabel yang masih belum sepenuhnya memperoleh haknya.

Perlu dikembangkan peran serta masyarakat untuk menghapus stereotype difabel merupakan beban. Tak lepas, upaya itu bisa berhasil baik jika ada dukungan penuh dari pemerintah dengan menegakkan kembali sederet landasan hukum yang selama ini masih mandul.

Langkah kita masih panjang untuk memperoleh kesetaraan di segala bidang bagi kaum difabel; dan itu semua hanya bisa diraih dengan kerja sama dari segenap pihak.(68)

Published in Suara Merdeka Selasa 02 Desember 2008

2 komentar: