Ini adalah penerbangan pertama saya.
Biasanya saya jarang menggunakan fasilitas transportasi umum jika hendak bepergian. Sopir yang terburu-buru bisa membahayakan saya, mereka tidak memberi saya cukup waktu untuk saya menaiki dan menuruni kendaraan. Selain itu kondisi fisik kendaraan umum dan fasilitas bangunan fisik pendukungnya (terminal, pintu masuk kendaraan, jalan, dll) kerapkali membuat saya kesulitan.
Karenanya saya lebih sering menggunakan kendaraan pribadi, becak atau taksi ketika harus bepergian. Hal ini juga membuat kesulitan baru, karena selain ongkos yang dibayarkan menjadi lebih tinggi, keterbatasan juga ditemui ketika perjalanan yang harus saya tempuh cukup jauh. Yang tidak lagi terjangkau dengan menggunakan kendaraan pribadi, becak atau taksi lagi.
Biasanya paling tidak ada salah seorang teman atau keluarga yang mendampingi saya untuk memastikan keamanan saya. Ketika bepergian saya selalu mencemaskan bagaimana ketika naik dan turun kendaraan, berharap pengemudi atau crew kendaraan tersebut cukup sabar dan mau memperhatikan kebutuhan saya.
Namun keadaan berbeda saya temui ketika mengakses layanan penerbangan. Layanan yang notabene milik kelas middle-up. Saya terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan jadwal penerbangan pagi.
Tiba di terminal III Bandara Soekarno Hatta, saya mengamati bahwa kondisi fisik bangunan mudah untuk saya akses. Di samping tangga ada ramp (meskipun masih bisa mengaksesnya saya mengalami kesulitan naik/turun anak tangga yang rata-rata memiliki tinggi 20 cm, ini terlalu tinggi bagi saya). Keberadaan ramp memudahkan saya, meski saya tidak memakai kursi roda dalam keseharian.
Dari awal saya sudah menanyakan pada petugas bandara tentang fasilitas kursi roda. Luasnya area bandara serta naik turun lantai membuat saya kecapekan kalau harus berjalan kaki. Dan tanggapan petugas cukup baik, mereka langsung menyatakan akan menyediakan kursi roda.
Dan dalam waktu beberapa menit seorang petugas datang membawa kursi roda untuk saya. Petugas tersebut juga menawarkan untuk mendorong kursi roda itu untuk saya. Jadi ibu saya yang saat itu mendampingi saya tidak perlu dibuat kerepotan lagi karenanya. Biasanya orang yang mendampingi saya akan dibuat kerepotan, karena selain harus mengurus barang bawaan yang kami bawa, dia juga harus mengurus saya.
Petugas yang mendorong kursi roda untuk saya tersebut dengan sabar menjelaskan proses-proses yang harus kami lalui dan menjawab pertanyaan saya tentang fasilitas yang diperoleh difabel di bandara ini. Dia mengantarkan kursi roda saya sampai di depan pesawat dan memastikan saya sampai di tempat duduk saya di pesawat. Saya dan Ibu adalah penumpang pertama yang menaiki pesawat, hmm rupanya manula dan difabel masuk pesawat paling awal dan turun paling akhir. Sebuah prosedur yang memudahkan bagi saya.
Ketika hendak turun, pramugari meminta saya untuk turun paling akhir sembari menunggu kursi roda yang telah dia pesankan untuk saya di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta itu. Benar saja, ketika saya melewati pintu saya melihat seorang petugas bandara telah menunggu saya di bawah dengan sebuah kursi roda. Petugas itu bahkan membantu saya menuruni tangga pesawat.
Area Bandara Adi Sucipto sebenarnya tidak terlalu luas, tidak seluas Bandara Soekarno Hatta. Jadi saya masih bisa berjalan kaki, namun tidak ada salahnya saya menikmati pelayanan yang telah disediakan untuk saya.
Ini untuk pertama kali saya menikmati bepergian menggunakan fasilitas umum tanpa harus dihantui rasa takut dan khawatir. Saya bisa menikmati perjalanan dengan nyaman, begitu juga dengan orang yang mendampingi saya. Bahkan saya merasa percaya diri suatu saat saya bisa pergi sendirian, tanpa harus ada teman/keluarga yang mendamping saya.
Namun di balik kenyamanan fasilitas yang saya dapatkan terbersit sebuah kegetiran yang saya rasakan. Semua fasilitas ini hanya bisa dinikmati oleh difabel yang punya uang. Lantas bagaimana dengan mayoritas difabel di Indonesia yang hidupnya masih berada di ambang kemiskinan?
Tentunya mereka masih berkutat dengan sopir yang dikejar waktu tanpa mempedulikan keselamatan penumpang, terminal/stasiun yang hiruk pikuk dengan desain bangunan yang sama sekali tidak bersahabat dengan difabel, petugas-petugas yang belum memiliki kepedulian akan hak-hak difabel (kalaupun ada masih sangat tergantung pada kepedulian di tingkat personal).
Atau bahkan lebih buruk lagi, ada sebagian difabel yang masih terkungkung dalam dunia sempitnya. Dikucilkan karena masih dianggap beban dan aib, sehingga bagi mereka dunia hanya seluas rumah mereka, kampung mereka ataupun kota mereka.
Dan saya bermimpi....
Pada suatu saat nanti, layanan publik yang aksesibel terhadap kebutuhan difabel ini tersebar dimana-mana. Bukan hanya milik kaum middle-up saja. Dan pemenuhan akan hak-hak difabel merupakan sebuah standar pelayanan, bukan hanya dalam bentuk pelayanan standar internasional saja. Kesadaran itu terbentuk secara luas dan bukan hanya terbatas di tingkat personal saja. Dan difabel bisa menikmati layanan publik sama nyamannya dengan orang yang bukan difabel.
Kapan itu????
Biasanya saya jarang menggunakan fasilitas transportasi umum jika hendak bepergian. Sopir yang terburu-buru bisa membahayakan saya, mereka tidak memberi saya cukup waktu untuk saya menaiki dan menuruni kendaraan. Selain itu kondisi fisik kendaraan umum dan fasilitas bangunan fisik pendukungnya (terminal, pintu masuk kendaraan, jalan, dll) kerapkali membuat saya kesulitan.
Karenanya saya lebih sering menggunakan kendaraan pribadi, becak atau taksi ketika harus bepergian. Hal ini juga membuat kesulitan baru, karena selain ongkos yang dibayarkan menjadi lebih tinggi, keterbatasan juga ditemui ketika perjalanan yang harus saya tempuh cukup jauh. Yang tidak lagi terjangkau dengan menggunakan kendaraan pribadi, becak atau taksi lagi.
Biasanya paling tidak ada salah seorang teman atau keluarga yang mendampingi saya untuk memastikan keamanan saya. Ketika bepergian saya selalu mencemaskan bagaimana ketika naik dan turun kendaraan, berharap pengemudi atau crew kendaraan tersebut cukup sabar dan mau memperhatikan kebutuhan saya.
Namun keadaan berbeda saya temui ketika mengakses layanan penerbangan. Layanan yang notabene milik kelas middle-up. Saya terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan jadwal penerbangan pagi.
Tiba di terminal III Bandara Soekarno Hatta, saya mengamati bahwa kondisi fisik bangunan mudah untuk saya akses. Di samping tangga ada ramp (meskipun masih bisa mengaksesnya saya mengalami kesulitan naik/turun anak tangga yang rata-rata memiliki tinggi 20 cm, ini terlalu tinggi bagi saya). Keberadaan ramp memudahkan saya, meski saya tidak memakai kursi roda dalam keseharian.
Dari awal saya sudah menanyakan pada petugas bandara tentang fasilitas kursi roda. Luasnya area bandara serta naik turun lantai membuat saya kecapekan kalau harus berjalan kaki. Dan tanggapan petugas cukup baik, mereka langsung menyatakan akan menyediakan kursi roda.
Dan dalam waktu beberapa menit seorang petugas datang membawa kursi roda untuk saya. Petugas tersebut juga menawarkan untuk mendorong kursi roda itu untuk saya. Jadi ibu saya yang saat itu mendampingi saya tidak perlu dibuat kerepotan lagi karenanya. Biasanya orang yang mendampingi saya akan dibuat kerepotan, karena selain harus mengurus barang bawaan yang kami bawa, dia juga harus mengurus saya.
Petugas yang mendorong kursi roda untuk saya tersebut dengan sabar menjelaskan proses-proses yang harus kami lalui dan menjawab pertanyaan saya tentang fasilitas yang diperoleh difabel di bandara ini. Dia mengantarkan kursi roda saya sampai di depan pesawat dan memastikan saya sampai di tempat duduk saya di pesawat. Saya dan Ibu adalah penumpang pertama yang menaiki pesawat, hmm rupanya manula dan difabel masuk pesawat paling awal dan turun paling akhir. Sebuah prosedur yang memudahkan bagi saya.
Ketika hendak turun, pramugari meminta saya untuk turun paling akhir sembari menunggu kursi roda yang telah dia pesankan untuk saya di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta itu. Benar saja, ketika saya melewati pintu saya melihat seorang petugas bandara telah menunggu saya di bawah dengan sebuah kursi roda. Petugas itu bahkan membantu saya menuruni tangga pesawat.
Area Bandara Adi Sucipto sebenarnya tidak terlalu luas, tidak seluas Bandara Soekarno Hatta. Jadi saya masih bisa berjalan kaki, namun tidak ada salahnya saya menikmati pelayanan yang telah disediakan untuk saya.
Ini untuk pertama kali saya menikmati bepergian menggunakan fasilitas umum tanpa harus dihantui rasa takut dan khawatir. Saya bisa menikmati perjalanan dengan nyaman, begitu juga dengan orang yang mendampingi saya. Bahkan saya merasa percaya diri suatu saat saya bisa pergi sendirian, tanpa harus ada teman/keluarga yang mendamping saya.
Namun di balik kenyamanan fasilitas yang saya dapatkan terbersit sebuah kegetiran yang saya rasakan. Semua fasilitas ini hanya bisa dinikmati oleh difabel yang punya uang. Lantas bagaimana dengan mayoritas difabel di Indonesia yang hidupnya masih berada di ambang kemiskinan?
Tentunya mereka masih berkutat dengan sopir yang dikejar waktu tanpa mempedulikan keselamatan penumpang, terminal/stasiun yang hiruk pikuk dengan desain bangunan yang sama sekali tidak bersahabat dengan difabel, petugas-petugas yang belum memiliki kepedulian akan hak-hak difabel (kalaupun ada masih sangat tergantung pada kepedulian di tingkat personal).
Atau bahkan lebih buruk lagi, ada sebagian difabel yang masih terkungkung dalam dunia sempitnya. Dikucilkan karena masih dianggap beban dan aib, sehingga bagi mereka dunia hanya seluas rumah mereka, kampung mereka ataupun kota mereka.
Dan saya bermimpi....
Pada suatu saat nanti, layanan publik yang aksesibel terhadap kebutuhan difabel ini tersebar dimana-mana. Bukan hanya milik kaum middle-up saja. Dan pemenuhan akan hak-hak difabel merupakan sebuah standar pelayanan, bukan hanya dalam bentuk pelayanan standar internasional saja. Kesadaran itu terbentuk secara luas dan bukan hanya terbatas di tingkat personal saja. Dan difabel bisa menikmati layanan publik sama nyamannya dengan orang yang bukan difabel.
Kapan itu????