Jumat, 15 Januari 2010

DUH PELITNYA SAYA


Ada 2 kelompok orang yang membuat saya pelit mengeluarkan uang. Kelompok pertama adalah para peminta sumbangan dan kelompok kedua adalah pengamen. Seringnya meski saya mengeluarkan uang untuk 2 kelompok tersebut namun jumlahnya sangat sedikit. Itupun tidak diiringi keikhlasan yang mendalam. Duh betapa pelitnya saya…

Bagi saya orang yang meminta sumbangan sama dengan mengemis. Yang paling membuat saya makin tidak suka adalah ketika mereka memakai simbol-simbol keagamaaan dan difabel sebagai dalih dalam meminta sumbangan. Puih, kalau memang belum cukup dana ya jangan mendirikan atau membangun tempat ibadah. Tunggu sampai dananya cukup dulu, bukan dengan meminta dari pintu ke pintu, apalagi menyodorkan kotak di pinggir jalan dan perempatan.

Apalagi meminta sumbangan dengan alasan kedifabelan, itu membuat saya sebal. Emang difabel itu identik dengan rasa kasihan apa! Difabel bukan alasan untuk menjadi obyek belas kasian dan iba.

Hemat saya menyumbang ya di posko penerima sumbangan yang sudah disediakan. Kita pergi kesana karena memang berniat untuk menyumbang, bukan Karena ada paksaan, karena ada orang yang memintai. Dan lebih jelas arah uang itu kemana.

Kelompok kedua yang membuat saya pelit adalah pengamen. Pengamen bagi saya tidak jauh berbeda juga dengan pengemis. Karena biasanya mereka menyanyi dengan nada yang jauh dari enak didengar di kuping. Mending dengerin mp3 saja. Selain itu ada beberapa pengamen yang bersikap tidak menyenangkan ketika orang tidak mau meberikan uang. Huh sudah minta maksa lagi….

Namun ada beberapa perkecualian jenis pengamen yang membuat saya mengacungkan jempol dan membuat kepelitan saya menghilang. Di Boyolali, ada banyak warung soto bertebaran. Meski demikian warung-warung soto tersebut nyaris tidak pernah sepi sendiri. Hmm, jelas soto telah menjadi menu andalan kuliner Boyolali.

Yang menarik adalah di bagian depan warung-warung soto tersebut biasanya terdapat sekelompok pengamen. Biasanya mereka duduk di sebelah pintu masuk warung. Grup yang terdiri dari 4-7 orang tersebut mengusung jenis musik campursari. Meskipun jenis musik tersebut bukan merupakan jenis musik yang yang saya gemari namun saya memberikan apresiasi positif bagi mereka.

Penampilan mereka yang sopan dan ramah, tetap memainkan lagu tanpa peduli apakan pengunjung memberikan uang atau tidak, serta memperlihatkan kualitas musik yan cukup memadai (tidak sekedar genjrang-genjreng tak enak didengarkan) membuat saya tidak sayang mengisi kotak mereka (biasanya mereka menempatka sejenis wadah plastic yang biasanya digunakan sebagai tempat nasi di depan mereka sebagai tempat pengunjung memberika uang). Dan nampaknya bukan saya saja yang berfikir begitu, karena bila dilihat dal;am wadah plastic tersebut isinya kebanyakan bukan berupa recehan koin seperti pada pengamen lain, tapi lebih didominasi oleh uang kertas.

Pengamen lain yang menarik bagi saya biasanya duduk di depan warung bakso kesukaan saya. Pengamen tersebut hanya menggunakan alat musik siter. Siter adalah alat musik tradisional Jawa yang dimainkan dengan cara dipetik. Belakangan pemain siter mulai langka.

1 lagi pengamen yang membuat saya memberi apresiasi baik adalah pemain biola yang dulu sering berkeliling di daerah kost saya di Jogja. Saya adalah seorang penikmat musik yang dihasilkan oleh biola tersebut. Pria paruh baya tersebut memainkan biolanya dengan bagus. Temen kost saya yang kebetulan juga seorang penyuka biola bahkan rela mengejar pemain biola tersebut, dan memanggilnya untuk bermain biola di depan kami. Hmm, kami sangat menikmati pertunjukan yang bagus tersebut.

Jadi rasanya untuk 3 pengamen yang saya sebutkan di atas, kepelitan saya hilang sudah. Leganya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar