Pernahkah Anda ngerasa pengen banget permintaanmu dikabulkan? Namun kadangkala tidak semua keinginan kita terwujud bukan? Dan ketika permintaan itu tidak terkabul kita mengalami kekecewaan yang mendalam.
Uniknya kadangkala kita ngerasa kecewa justru ketika permintaan kita dikabulkan oleh Tuhan. Lho kok?? Itulah rumitnya manusia
Ada seorang bapak yang sedih melihat buah hati kesayangannya didera flu. Si kecil yang biasanya bergerak lincah tak henti-hentinya. Namun pilek dan demam yang diderita si anak membuatnya tergolek tak berdaya di tempat tidur. Semalamanpun anak kecil tersebut tak nyenyak tidur dan seringkali rewel merasakan badannya yang sakit
Secara tak sadar si bapak berucap, ”Ya Allah, daripada anak saya yang masih kecil ini menderita sakit begini mendingan saya saja yang menanggung sakit.” Kadangkala kan kita memang bersikap demikian. Tak tega demi melihat orang yang sangat kita sayangi menderita kita sering membuat permintaan jika saja penderitaan itu bisa dipindahtangankan, maulah rasanya kita saja yang menanggungnya.
Selang beberapa lama ketika si anak telah sehat seperti sedia kala, tiba giliran si bapak yang menderita penyakit yang kurang lebih sama. Demam, hidung tersumbat dan kepala pening. Di tengah penderitaan tersebut si bapak jadi sering hilang kesabaran. Kenakalan si anak yang biasanya hanya membuatnya kini tersenyum ditanggapinya dengan marah-marah. Begitu juga sikap bapak tersebut menghadapi orang-orang lain di sekelilingnya. Istri dibentak kalau salah mengambilkan obat, pembantu dimarahi karena lama membawakan minum.
Wah si bapak tersebut rupanya sudah lupa dengan hal yang dulu pernah diminta dalam doanya. Herankan, justru ketika permintaannya dikabulkan bapak itu malah menyalahkan semua orang di sekelilingnya. Kan dulu dia sendiri yang meminta diberi sakit sementara si anak sehat
Padahal ketika anaknya yang sakit, dia kan gak membentak-bentak bapaknya (nah lho!)
Saya juga baru mengalami kerepotan dengan permintaan saya.
Dulu sewaktu baru masuk kantor tanggung jawab saya sedikit. Belum banyak tugas yang saya emban waktu itu. Saya sering merasa iri dengan teman-teman kantor yang lain yang telah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kapan saya bisa sibuk seperti mereka? Saya sering sekali berdoa supaya bisa mendapat banyak tanggung jawab. Gak enak kan ongkang-ongkang kaki sementara yang lain pada sibuk
Sekarang permintaan saya terkabul. Seiring berjalannya waktu semakin banyak tanggung jawab yang saya emban. Belum selesai tugas satu pasti ada tugas lain menghampiri. Bahkan tadi pagi Boss sudah memberikan lagi satu materi sebagai tanggung jawab kerja saya (huaaaa)
Padahal kenaikan profit belum menghampiri, duhh!
Sekarang kalau saya mau menyalahkan keadaan terus terang saya malu pada Tuhan. Dalam doa saya dulu saya ingin tugas dan tanggung jawab saya yang bertambah, bukan penghasilan saya. Terus sekarang hal itu sudah saya dapatkan. Masih pantaskah saya menggerutu?
Jadi seharusnya dulu saya berdoa semoga tugas saya meningkat, penghasilan juga meningkat ya.
Dasar manusia, he he saya kan juga manusia ya....
"Kebahagiaan kamu bukan tergantung pada orang lain melainkan ada pada diri kamu sendiri"
Sabtu, 27 September 2008
Kita Dan Budaya Pamer
Pekan lalu saya mengikuti rapat koordinasi sebuah paguyuban MMK (Masyarakat Miskin Kota). Rapat tersebut memiliki agenda untuk mempersiapkan warga MMK sebelum rapat dengar pendapat dengan Pemda pada esok paginya.
Paguyuban MMK adalah perkumpulan yang beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat kota yang memiliki penghasilan di bawah rata-rata. Anggotanya antara lain kelompok sopir angkutan, kusir andong, pedagang asongan, anak jalanan, pengamen, waria, PSK, buruh gendong pasar, pemulung, dll.
Selama ini mereka kesulitan mendapat akses dari pemerintahan dan seringkali menjadi korban atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Untuk itu mereka bekerjasama -difasilitasi oleh kantor saya- membentuk suatu organisasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
Rencananya MMK akan melakukan dengar pendapat dengan Pemda untuk membahas permasalahan mereka. Ada beberapa hal yang ingin mereka sampaikan dalam rapat dengar pendapat, di antaranya adalah permasalahan yang mereka hadapi seperti penggusuran, meminta bantuan untuk penambahan modal kerja, meminta bantuan pelatihan keterampilan.
Untuk lebih mematangkan persiapan dan menyatukan visi, maka rapat koordinasi tersebut diadakan sehari sebelumnya.
Dengan bantuan beberapa fasilitator dari NGO rencana dengar pendapat dapat dipersiapkan dengan baik, warga MMK lebih memiliki kesiapan baik dari materi maupun mental dalam menyampaikan aspirasinya.
Namun ada suatu hal menarik yang sempat saya cermati. Hal itu sama sekali di luar konteks rapat yang mereka adakan.
Dari 9 wakil kelompok MMK ada terdapat seorang ibu yang ketika menghadiri rapat tampak mengenakan perhiasan yang mencolok. Ibu tersebut memakai beberapa buah cincin dan serentang gelang --yang kalau saya tidak salah tebak terbuat dari-emas.
Saya jadi geli membayangkan seandainya esok hari ibu tersebut juga mengenakan perhiasan-perhiasannya dalam dengar pendapat, bagaimana dengan pemikiran Pemda?
Menggelikan memang, mereka mengatasnamakan masyarakat miskin, meminta bantuan, namun apa yang diperlihatkan justru malah sebaliknya.
Sebuah ironi memang, seringkali kita melihat di masyarakat apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang terucap. Seringkali mereka mengaku masyarakat miskin, tapi inginnya tampil wah.
Budaya pamer yang mengakrabi masyarakat seringkali justru membawa mereka lebih terpuruk dalam kemiskinannya.
Dalam lingkungan tempat tinggal saya ada sebuah kebiasaan untuk membuat pesta besar untuk sebuah hajatan seperti pesta pernikahan dan sunatan. Bahkan ada kecenderungan untuk saling berlomba pesta siapa yang paling hebat. Kebiasaan tersebut tidak hanya terhenti pada keluarga berduit saja. Keluarga yang tidak memiliki cukup memiliki uangpun merasa gengsi jika tidak mampu menyelenggarakan sebuah pesta. Akibatnya mereka harus meminjam uang guna membuat sebuah pesta.
Masalah dimulai ketika pesta telah usai, keramaian telah menyurut. Yang tersisa adalah setumpuk hutang tanpa ada jalan keluar bagaimana melunasinya.
Saya bukan sedang menyalahkan si ibu yang memiliki banyak perhiasan, yang saya sayangkan adalah penempatan pemakaiannya.
Saya juga tidak melarang masyarakat kurang mampu untuk mengadakan sebuah pesta. Namun kemeriahan sebuah pesta kan hanya sesaat. Kalau hanya untuk dilihat "wah" di hadapan orang lain, sementara itu kesulitan yang mengiringi di belakang tidak sebanding lalu untuk apa?
Paguyuban MMK adalah perkumpulan yang beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat kota yang memiliki penghasilan di bawah rata-rata. Anggotanya antara lain kelompok sopir angkutan, kusir andong, pedagang asongan, anak jalanan, pengamen, waria, PSK, buruh gendong pasar, pemulung, dll.
Selama ini mereka kesulitan mendapat akses dari pemerintahan dan seringkali menjadi korban atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Untuk itu mereka bekerjasama -difasilitasi oleh kantor saya- membentuk suatu organisasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
Rencananya MMK akan melakukan dengar pendapat dengan Pemda untuk membahas permasalahan mereka. Ada beberapa hal yang ingin mereka sampaikan dalam rapat dengar pendapat, di antaranya adalah permasalahan yang mereka hadapi seperti penggusuran, meminta bantuan untuk penambahan modal kerja, meminta bantuan pelatihan keterampilan.
Untuk lebih mematangkan persiapan dan menyatukan visi, maka rapat koordinasi tersebut diadakan sehari sebelumnya.
Dengan bantuan beberapa fasilitator dari NGO rencana dengar pendapat dapat dipersiapkan dengan baik, warga MMK lebih memiliki kesiapan baik dari materi maupun mental dalam menyampaikan aspirasinya.
Namun ada suatu hal menarik yang sempat saya cermati. Hal itu sama sekali di luar konteks rapat yang mereka adakan.
Dari 9 wakil kelompok MMK ada terdapat seorang ibu yang ketika menghadiri rapat tampak mengenakan perhiasan yang mencolok. Ibu tersebut memakai beberapa buah cincin dan serentang gelang --yang kalau saya tidak salah tebak terbuat dari-emas.
Saya jadi geli membayangkan seandainya esok hari ibu tersebut juga mengenakan perhiasan-perhiasannya dalam dengar pendapat, bagaimana dengan pemikiran Pemda?
Menggelikan memang, mereka mengatasnamakan masyarakat miskin, meminta bantuan, namun apa yang diperlihatkan justru malah sebaliknya.
Sebuah ironi memang, seringkali kita melihat di masyarakat apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang terucap. Seringkali mereka mengaku masyarakat miskin, tapi inginnya tampil wah.
Budaya pamer yang mengakrabi masyarakat seringkali justru membawa mereka lebih terpuruk dalam kemiskinannya.
Dalam lingkungan tempat tinggal saya ada sebuah kebiasaan untuk membuat pesta besar untuk sebuah hajatan seperti pesta pernikahan dan sunatan. Bahkan ada kecenderungan untuk saling berlomba pesta siapa yang paling hebat. Kebiasaan tersebut tidak hanya terhenti pada keluarga berduit saja. Keluarga yang tidak memiliki cukup memiliki uangpun merasa gengsi jika tidak mampu menyelenggarakan sebuah pesta. Akibatnya mereka harus meminjam uang guna membuat sebuah pesta.
Masalah dimulai ketika pesta telah usai, keramaian telah menyurut. Yang tersisa adalah setumpuk hutang tanpa ada jalan keluar bagaimana melunasinya.
Saya bukan sedang menyalahkan si ibu yang memiliki banyak perhiasan, yang saya sayangkan adalah penempatan pemakaiannya.
Saya juga tidak melarang masyarakat kurang mampu untuk mengadakan sebuah pesta. Namun kemeriahan sebuah pesta kan hanya sesaat. Kalau hanya untuk dilihat "wah" di hadapan orang lain, sementara itu kesulitan yang mengiringi di belakang tidak sebanding lalu untuk apa?
Rabu, 10 September 2008
Ramadhan Bulan Bebas Asap Rokok
Rasanya sungguh segar udara yang saya hirup dalam semingguan ini. Beberapa rekan kantor sayapun merasakan hal yang sama. Ini jarang terjadi di lingkungan tempat saya bekerja.
10 hari ini ada hal berbeda dari ruangan tempat saya bekerja yaitu absennya asap rokok yang biasanya sangat rajin memenuhi udara kantor.
Rekan kerja saya sebagian besar laki-laki dan hampir semuanya adalah perokok. Karena suhu udara daerah Boyolali dingin (karena merupakan daerah pegunungan) maka alat pendingin ruangan tidak dibutuhkan. Buang-buang energi untuk memasang AC, tanpa alt itu saja kami sering kedinginan di siang bolong.
Biasanya rapat-rapat yang saya ikuti diikuti pula oleh kepulan asap. Saya gak habis pikir apa rekan-rekan saya yang merokok tidak tersedak asap? Karena mereka hampir selalu menghembuskan asap di sepanjang sesi rapat. Bahkan ngomongpun sambil merokok.
Beberapa kali saya dan rekan yang tidak merokok (terutama rekan perempuan) mengajukan keberatan. Dari sindiran ringan hingga protes secara langsung namun hasilnya nihil.
Pernah saya ajukan protes secara langsung seusai rapat, salah satu rekan saya menjawab, ”ya bagaimana lagi bu, tanpa rokok kepala saya pusing.” Dia menjawab sambil tertawa karena saya protes dengan nada santai. ”Lhah kebalikannya pak, kalau bapak merokok gantian kepala saya pusing.” Dia cuman tertawa, gak bisa membalas kata-kata saya. Tapi tetep gak pernah ada perubahan, tetep merokok di depan saya.
Nah di bulan ramadhan ini ada kebebasan baru yang saya rasakan. Setiap pagi ketika saya melangkah memasuki ruangan dengan senang hati karena hari ini tidak ada racun nikotin yang saya hirup.
Begitu juga ketika saya mengunjungi fasilitas-fasilitas umum seperti perkantoran, terminal dan pasar. Segar sekali udaranya karena asap rokok lagi-lagi absen.
Coba ya, suasana seperti ini berlangsung sepanjang tahun dan bukan hanya sebulan dalam setahun. Tapi bagaimanapun juga ini patut disyukuri, ramadhan memang penuh berkah
10 hari ini ada hal berbeda dari ruangan tempat saya bekerja yaitu absennya asap rokok yang biasanya sangat rajin memenuhi udara kantor.
Rekan kerja saya sebagian besar laki-laki dan hampir semuanya adalah perokok. Karena suhu udara daerah Boyolali dingin (karena merupakan daerah pegunungan) maka alat pendingin ruangan tidak dibutuhkan. Buang-buang energi untuk memasang AC, tanpa alt itu saja kami sering kedinginan di siang bolong.
Biasanya rapat-rapat yang saya ikuti diikuti pula oleh kepulan asap. Saya gak habis pikir apa rekan-rekan saya yang merokok tidak tersedak asap? Karena mereka hampir selalu menghembuskan asap di sepanjang sesi rapat. Bahkan ngomongpun sambil merokok.
Beberapa kali saya dan rekan yang tidak merokok (terutama rekan perempuan) mengajukan keberatan. Dari sindiran ringan hingga protes secara langsung namun hasilnya nihil.
Pernah saya ajukan protes secara langsung seusai rapat, salah satu rekan saya menjawab, ”ya bagaimana lagi bu, tanpa rokok kepala saya pusing.” Dia menjawab sambil tertawa karena saya protes dengan nada santai. ”Lhah kebalikannya pak, kalau bapak merokok gantian kepala saya pusing.” Dia cuman tertawa, gak bisa membalas kata-kata saya. Tapi tetep gak pernah ada perubahan, tetep merokok di depan saya.
Nah di bulan ramadhan ini ada kebebasan baru yang saya rasakan. Setiap pagi ketika saya melangkah memasuki ruangan dengan senang hati karena hari ini tidak ada racun nikotin yang saya hirup.
Begitu juga ketika saya mengunjungi fasilitas-fasilitas umum seperti perkantoran, terminal dan pasar. Segar sekali udaranya karena asap rokok lagi-lagi absen.
Coba ya, suasana seperti ini berlangsung sepanjang tahun dan bukan hanya sebulan dalam setahun. Tapi bagaimanapun juga ini patut disyukuri, ramadhan memang penuh berkah
Selasa, 09 September 2008
Letak Kebahagiaan Kita
Saya pernah mengalami masa-masa sulit. Suatu masa di mana memandang masa depan terasa amat menyakitkan bagi saya. Saya menyebutnya sebagai titik terendah dalam kehidupan.
Dalam masa itu perasaan saya cenderung menjadi lebih sensitif, sensitif dalam artian negatif tentu saja. Yah rada-rada desperate gitu
Suatu saat dalam rentang masa itu adik lelaki saya tiba-tiba dateng bawa pacar ke rumah. Bugg! Pukulan bagi saya yang tengah menjomblo. Bagi masyarakat sekeliling saya, dilangkahi adik (apalagi adik laki-laki bisa disebut suatu hal yang memalukan).
Terus terang hal yang paling menakutkan bagi saya adalah menghadapi pandangan orang. Siapa sih yang tahan dipandang kasihan, not me! Pikiran saya terfokus pada hal-hal negatif, cenderung berfikiran buruk
Kemudian saya curhat pada sahabat saya, yang saya tahu memiliki segudang penuh amunisi pikiran positif di kepalanya.
Dia menekankan apa yang benar-benar saya inginkan dari permasalahan tersebut. Pilihan yang berat memang. Saya tentu saja tidak menginginkan buru-buru menjatuhkan pilihan untuk kemudian menikah sebelum didahului oleh adik. Bukannya semua yang dilakukan secara terburu-buru hasilnya tidak akan optimal. Ini menyangkut pilihan seumur hidup. Sementara untuk merelakan dilangkahi, siapkah saya?
Saya merasa marah, kecewa dan sakit hati pada adik dan pacarnya. Saya merasa mereka udah menikam saya dari belakang (padahal kenyataannya gak segitunya kalee!)
Akhirnya ada salah satu kalimat sahabat itu yang bisa membuat saya kembali bangkit. Pernyataan bahwa, "Kebahagiaan kamu bukan tergantung pada orang lain melainkan ada pada diri kamu sendiri. Kamu sendiri yang udah mengijinkan diri kamu marah, kecewa dan sakit hati."
Saya mulai sadar, bahwa selama ini saya terlalu terpaku pada hal-hal yang belum saya miliki sehingga saya melupakan segala anugerah yang telah diberikan Allah pada saya. Saya lupa bersyukur (Astaqfirullah!)
Dari sanalah saya mulai bangkit, saya sadar bahwa saya adalah orang yang sungguh-sungguh beruntung. Untuk apa saya hanya mendengarkan omongan orang lain. Apapun yang mereka katakan saya memiliki kuasa penuh untuk mengontrol diri saya sendiri. Saya yang mengijinkan diri saya untuk marah dan sakit hati pada pandangan mereka.
Memang saya toh tidak bisa mengatur apa penilaian dan pemikiran orang lain terhadap saya. Tapi itu semua tidak ada gunanya karena sayalah yang memiliki kekuasaan atas diri saya sendiri. Saya yang menentukan apakah saya berhak bahagia atau tidak dan itu semua tidak ada sangkut pautnya dengan pendapat orang.
Biiarkan orang bilang apa, biarkan orang berlaku apa. Now here I am, a happily person no matter what
Dalam masa itu perasaan saya cenderung menjadi lebih sensitif, sensitif dalam artian negatif tentu saja. Yah rada-rada desperate gitu
Suatu saat dalam rentang masa itu adik lelaki saya tiba-tiba dateng bawa pacar ke rumah. Bugg! Pukulan bagi saya yang tengah menjomblo. Bagi masyarakat sekeliling saya, dilangkahi adik (apalagi adik laki-laki bisa disebut suatu hal yang memalukan).
Terus terang hal yang paling menakutkan bagi saya adalah menghadapi pandangan orang. Siapa sih yang tahan dipandang kasihan, not me! Pikiran saya terfokus pada hal-hal negatif, cenderung berfikiran buruk
Kemudian saya curhat pada sahabat saya, yang saya tahu memiliki segudang penuh amunisi pikiran positif di kepalanya.
Dia menekankan apa yang benar-benar saya inginkan dari permasalahan tersebut. Pilihan yang berat memang. Saya tentu saja tidak menginginkan buru-buru menjatuhkan pilihan untuk kemudian menikah sebelum didahului oleh adik. Bukannya semua yang dilakukan secara terburu-buru hasilnya tidak akan optimal. Ini menyangkut pilihan seumur hidup. Sementara untuk merelakan dilangkahi, siapkah saya?
Saya merasa marah, kecewa dan sakit hati pada adik dan pacarnya. Saya merasa mereka udah menikam saya dari belakang (padahal kenyataannya gak segitunya kalee!)
Akhirnya ada salah satu kalimat sahabat itu yang bisa membuat saya kembali bangkit. Pernyataan bahwa, "Kebahagiaan kamu bukan tergantung pada orang lain melainkan ada pada diri kamu sendiri. Kamu sendiri yang udah mengijinkan diri kamu marah, kecewa dan sakit hati."
Saya mulai sadar, bahwa selama ini saya terlalu terpaku pada hal-hal yang belum saya miliki sehingga saya melupakan segala anugerah yang telah diberikan Allah pada saya. Saya lupa bersyukur (Astaqfirullah!)
Dari sanalah saya mulai bangkit, saya sadar bahwa saya adalah orang yang sungguh-sungguh beruntung. Untuk apa saya hanya mendengarkan omongan orang lain. Apapun yang mereka katakan saya memiliki kuasa penuh untuk mengontrol diri saya sendiri. Saya yang mengijinkan diri saya untuk marah dan sakit hati pada pandangan mereka.
Memang saya toh tidak bisa mengatur apa penilaian dan pemikiran orang lain terhadap saya. Tapi itu semua tidak ada gunanya karena sayalah yang memiliki kekuasaan atas diri saya sendiri. Saya yang menentukan apakah saya berhak bahagia atau tidak dan itu semua tidak ada sangkut pautnya dengan pendapat orang.
Biiarkan orang bilang apa, biarkan orang berlaku apa. Now here I am, a happily person no matter what
Dan Anggota Gerwani Itu Ternyata...
Masih ingatkah anda tentang pelajaran sejarah mengenai G30/S PKI?
Dulu ketika masih bersekolah tiap tanggal 30 September murid-murid diajak pergi ke gedung bioskop menonton film pemberontakan G30/S PKI. Dan tiap keluar dari sana saya selalu merinding. Kejam sekali para pemberontak itu ya?
”PKI itu tak bermoral, mereka atheis,” begitu seringkali guru sejarah (masa itu) memberikan penjelasan. Iya percaya lah, orang dari filmnya juga begitu.
Anggapan seperti itu telah berada di kepala saya sampai saya duduk di bangku kuliah. Baru ketika Orde Baru tumbang muncul wacana-wacana baru berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tapi jujur saat itu saya masih sering dibuat bingung karenanya.
Bulan november tahun lalu saya dan rekan berkunjung ke sebuah desa, Lanjaran namanya. Desa tersebut terletak di kecamatan Musuk kabupaten Boyolali, letaknya di lereng gunung Merapi.
Ketika peristiwa 65 terjadi, kawasan tersebut merupakan basis PKI. Setiap lapan (35 hari) di desa itu diadakan sebuah pertemuan ibu-ibu yang bernama Wiji Asih. Di sana selain ada kegiatan untuk memajukan peran wanita, mereka saling membagikan pengalaman sehubungan dengan tragedi yang mereka alami. Sebagian kecil dari ibu-ibu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang terlibat langsung dan sebagian besarnya adalah anak cucu mereka yang ketika itu masih kecil –dan bahkan ada yang belum lahir– namun sampai sekarang masih menanggung beban.
Anak cucu anggota PKI sampai sekarang masih belum sepenuhnya dapat dipulihkan hak-haknya. Belum lagi mereka harus menanggung stigma negatif dari masyarakat masyarakat akibat peristiwa yang mereka sendiripun tidak pernah mengerti apa itu.
Satu yang membuat saya tercengang ketika berkenalan dengan salah satu pendiri Wiji Asih. Seorang wanita berumur 86 tahun, Sutiyem namanya sering dipanggil Mbah Suti. Ketika tragedi tersebut terjadi Mbah Suti sempat ditangkap akibat kegiatannya di Gerwani.
Sempat terbayangkan, selama ini yang terpatri di benak saya bahwa Gerwani beranggotakan wanita-wanita tak bermoral yang ikut menganiaya para jenderal serta melakukan serangkaian tindakan asusila. Tapi kok yang saya hadapi....???
Belum 10 menit mendengarkan obrolannya saya langsung bisa mengatakan bahwa beliau adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dalam usia lanjut tersebut pemikiran beliau masih tetap tajam. Analisa-analisanya berkaitan dengan kegiatan demokrasi di masa sekarang masih sangat brilian.
Mbah Suti mengaku mengenal Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi yang melatarbelakangi terbentuknya Gerwani) ketika menjalankan profesinya sebagai penjual sirih di pasar. Latar belakang keikutsertaannya dalam gerakan wanita tersebut adalah untuk menggugat keberadaan poligami. Saat itu mbah Suti adalah istri ketiga. Seperti halnya keadan wanita-wanita lain pada masa itu yang hanya dianggap sebagai second class, poligami sangat merugikan wanita. Banyak wanita yang setelah dijadikan istri kesekian ditinggalkan begitu saja oleh suaminya padahal telah ada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan dua tahun kemudian didirikan cabang Musuk dengan Mbah Suti sebagai ketua. Pada tahun 1954 Gerwis berganti nama menjadi Gerwani.
Keberadaan Gerwis Lanjaran yang merupakan anak cabang meluas. Banyak wanita yang ikut karena mulai sadar untuk diajak lebih maju. Salah satu kegiatan Gerwis yang mencolok adalah edukasi terhadap para wanita. Saat itu akses wanita untuk mengenyam bangku sekolah sangatlah minim. Prioritas utama pendidikan adalah untuk laki-laki.Selain pendidikan Gerwis juga memiliki peran besar dalam aksi sosialnya berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1954.
Kegiatan Gerwani di Lanjaran sampai tahun awal tahun 1965 berjalan lancar. Namun ketika meletus peristiwa 65 keadaannya menjadi kacau balau. Desa Lanjaran yang dikenal merupakan basis kegiatan anggota PKI seperti BTI, Gerwani dan Lekra mulai terusik. Beberapa orang yang dikenal sebagai tokoh utama ditangkap aparat. Dari 19 orang yang tertangkap mbah Suti adalah satu-satunya perempuan. Setelah mendapat berbagai perlakuan buruk –salah satunya pelecehan seksual dengan diarak setelah ditelanjangi– mbah Suti akhirnya dibebaskan.
Meskipun kejadian buruk tersebut telah berlangsung lebih 40 tahun tapi mbah Suti dan keluarganya masih mendapat banyak kesulitan karenanya. Meskipun demikian ketajaman pikiran mbah Suti masih belum berkurang. Bahkan ketika usia lanjut menderanya. Saya masih sering terkejut dengan kritik-kritik yang cerdas dan tepat sasaran yang sering beliau lontarkan. Saya juga terheran-heran ketika beliau masih bisa mengingat secara rinci waktu, orang-orang serta kejadian-kejadian di masa lalu berkaitan dengan keaktifannya di Gerwis. Mbah Suti, aktivis Gerwani itu ternyata adalah organisator ulung. Yang sejak awal sudah memiliki visi mengangkat keberadaan perempuan. Layakkah jika disebut sebagai salah satu perintis gerakan perempuan di Indonesia?
Dulu ketika masih bersekolah tiap tanggal 30 September murid-murid diajak pergi ke gedung bioskop menonton film pemberontakan G30/S PKI. Dan tiap keluar dari sana saya selalu merinding. Kejam sekali para pemberontak itu ya?
”PKI itu tak bermoral, mereka atheis,” begitu seringkali guru sejarah (masa itu) memberikan penjelasan. Iya percaya lah, orang dari filmnya juga begitu.
Anggapan seperti itu telah berada di kepala saya sampai saya duduk di bangku kuliah. Baru ketika Orde Baru tumbang muncul wacana-wacana baru berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tapi jujur saat itu saya masih sering dibuat bingung karenanya.
Bulan november tahun lalu saya dan rekan berkunjung ke sebuah desa, Lanjaran namanya. Desa tersebut terletak di kecamatan Musuk kabupaten Boyolali, letaknya di lereng gunung Merapi.
Ketika peristiwa 65 terjadi, kawasan tersebut merupakan basis PKI. Setiap lapan (35 hari) di desa itu diadakan sebuah pertemuan ibu-ibu yang bernama Wiji Asih. Di sana selain ada kegiatan untuk memajukan peran wanita, mereka saling membagikan pengalaman sehubungan dengan tragedi yang mereka alami. Sebagian kecil dari ibu-ibu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang terlibat langsung dan sebagian besarnya adalah anak cucu mereka yang ketika itu masih kecil –dan bahkan ada yang belum lahir– namun sampai sekarang masih menanggung beban.
Anak cucu anggota PKI sampai sekarang masih belum sepenuhnya dapat dipulihkan hak-haknya. Belum lagi mereka harus menanggung stigma negatif dari masyarakat masyarakat akibat peristiwa yang mereka sendiripun tidak pernah mengerti apa itu.
Satu yang membuat saya tercengang ketika berkenalan dengan salah satu pendiri Wiji Asih. Seorang wanita berumur 86 tahun, Sutiyem namanya sering dipanggil Mbah Suti. Ketika tragedi tersebut terjadi Mbah Suti sempat ditangkap akibat kegiatannya di Gerwani.
Sempat terbayangkan, selama ini yang terpatri di benak saya bahwa Gerwani beranggotakan wanita-wanita tak bermoral yang ikut menganiaya para jenderal serta melakukan serangkaian tindakan asusila. Tapi kok yang saya hadapi....???
Belum 10 menit mendengarkan obrolannya saya langsung bisa mengatakan bahwa beliau adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dalam usia lanjut tersebut pemikiran beliau masih tetap tajam. Analisa-analisanya berkaitan dengan kegiatan demokrasi di masa sekarang masih sangat brilian.
Mbah Suti mengaku mengenal Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi yang melatarbelakangi terbentuknya Gerwani) ketika menjalankan profesinya sebagai penjual sirih di pasar. Latar belakang keikutsertaannya dalam gerakan wanita tersebut adalah untuk menggugat keberadaan poligami. Saat itu mbah Suti adalah istri ketiga. Seperti halnya keadan wanita-wanita lain pada masa itu yang hanya dianggap sebagai second class, poligami sangat merugikan wanita. Banyak wanita yang setelah dijadikan istri kesekian ditinggalkan begitu saja oleh suaminya padahal telah ada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan dua tahun kemudian didirikan cabang Musuk dengan Mbah Suti sebagai ketua. Pada tahun 1954 Gerwis berganti nama menjadi Gerwani.
Keberadaan Gerwis Lanjaran yang merupakan anak cabang meluas. Banyak wanita yang ikut karena mulai sadar untuk diajak lebih maju. Salah satu kegiatan Gerwis yang mencolok adalah edukasi terhadap para wanita. Saat itu akses wanita untuk mengenyam bangku sekolah sangatlah minim. Prioritas utama pendidikan adalah untuk laki-laki.Selain pendidikan Gerwis juga memiliki peran besar dalam aksi sosialnya berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1954.
Kegiatan Gerwani di Lanjaran sampai tahun awal tahun 1965 berjalan lancar. Namun ketika meletus peristiwa 65 keadaannya menjadi kacau balau. Desa Lanjaran yang dikenal merupakan basis kegiatan anggota PKI seperti BTI, Gerwani dan Lekra mulai terusik. Beberapa orang yang dikenal sebagai tokoh utama ditangkap aparat. Dari 19 orang yang tertangkap mbah Suti adalah satu-satunya perempuan. Setelah mendapat berbagai perlakuan buruk –salah satunya pelecehan seksual dengan diarak setelah ditelanjangi– mbah Suti akhirnya dibebaskan.
Meskipun kejadian buruk tersebut telah berlangsung lebih 40 tahun tapi mbah Suti dan keluarganya masih mendapat banyak kesulitan karenanya. Meskipun demikian ketajaman pikiran mbah Suti masih belum berkurang. Bahkan ketika usia lanjut menderanya. Saya masih sering terkejut dengan kritik-kritik yang cerdas dan tepat sasaran yang sering beliau lontarkan. Saya juga terheran-heran ketika beliau masih bisa mengingat secara rinci waktu, orang-orang serta kejadian-kejadian di masa lalu berkaitan dengan keaktifannya di Gerwis. Mbah Suti, aktivis Gerwani itu ternyata adalah organisator ulung. Yang sejak awal sudah memiliki visi mengangkat keberadaan perempuan. Layakkah jika disebut sebagai salah satu perintis gerakan perempuan di Indonesia?
Langganan:
Postingan (Atom)