Pekan lalu saya mengikuti rapat koordinasi sebuah paguyuban MMK (Masyarakat Miskin Kota). Rapat tersebut memiliki agenda untuk mempersiapkan warga MMK sebelum rapat dengar pendapat dengan Pemda pada esok paginya.
Paguyuban MMK adalah perkumpulan yang beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat kota yang memiliki penghasilan di bawah rata-rata. Anggotanya antara lain kelompok sopir angkutan, kusir andong, pedagang asongan, anak jalanan, pengamen, waria, PSK, buruh gendong pasar, pemulung, dll.
Selama ini mereka kesulitan mendapat akses dari pemerintahan dan seringkali menjadi korban atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Untuk itu mereka bekerjasama -difasilitasi oleh kantor saya- membentuk suatu organisasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
Rencananya MMK akan melakukan dengar pendapat dengan Pemda untuk membahas permasalahan mereka. Ada beberapa hal yang ingin mereka sampaikan dalam rapat dengar pendapat, di antaranya adalah permasalahan yang mereka hadapi seperti penggusuran, meminta bantuan untuk penambahan modal kerja, meminta bantuan pelatihan keterampilan.
Untuk lebih mematangkan persiapan dan menyatukan visi, maka rapat koordinasi tersebut diadakan sehari sebelumnya.
Dengan bantuan beberapa fasilitator dari NGO rencana dengar pendapat dapat dipersiapkan dengan baik, warga MMK lebih memiliki kesiapan baik dari materi maupun mental dalam menyampaikan aspirasinya.
Namun ada suatu hal menarik yang sempat saya cermati. Hal itu sama sekali di luar konteks rapat yang mereka adakan.
Dari 9 wakil kelompok MMK ada terdapat seorang ibu yang ketika menghadiri rapat tampak mengenakan perhiasan yang mencolok. Ibu tersebut memakai beberapa buah cincin dan serentang gelang --yang kalau saya tidak salah tebak terbuat dari-emas.
Saya jadi geli membayangkan seandainya esok hari ibu tersebut juga mengenakan perhiasan-perhiasannya dalam dengar pendapat, bagaimana dengan pemikiran Pemda?
Menggelikan memang, mereka mengatasnamakan masyarakat miskin, meminta bantuan, namun apa yang diperlihatkan justru malah sebaliknya.
Sebuah ironi memang, seringkali kita melihat di masyarakat apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang terucap. Seringkali mereka mengaku masyarakat miskin, tapi inginnya tampil wah.
Budaya pamer yang mengakrabi masyarakat seringkali justru membawa mereka lebih terpuruk dalam kemiskinannya.
Dalam lingkungan tempat tinggal saya ada sebuah kebiasaan untuk membuat pesta besar untuk sebuah hajatan seperti pesta pernikahan dan sunatan. Bahkan ada kecenderungan untuk saling berlomba pesta siapa yang paling hebat. Kebiasaan tersebut tidak hanya terhenti pada keluarga berduit saja. Keluarga yang tidak memiliki cukup memiliki uangpun merasa gengsi jika tidak mampu menyelenggarakan sebuah pesta. Akibatnya mereka harus meminjam uang guna membuat sebuah pesta.
Masalah dimulai ketika pesta telah usai, keramaian telah menyurut. Yang tersisa adalah setumpuk hutang tanpa ada jalan keluar bagaimana melunasinya.
Saya bukan sedang menyalahkan si ibu yang memiliki banyak perhiasan, yang saya sayangkan adalah penempatan pemakaiannya.
Saya juga tidak melarang masyarakat kurang mampu untuk mengadakan sebuah pesta. Namun kemeriahan sebuah pesta kan hanya sesaat. Kalau hanya untuk dilihat "wah" di hadapan orang lain, sementara itu kesulitan yang mengiringi di belakang tidak sebanding lalu untuk apa?
Hello Ida Puji,
BalasHapusSekedar mampir dan say HI nih :)
Nana RKB
Hallo juga mbak Nana juga mbak Nana. Seneng udah mampir ke sini. Ida suka baca blog2 mbak Nana juga. U've inspire me a lot. Thanks
BalasHapus