Masih ingatkah anda tentang pelajaran sejarah mengenai G30/S PKI?
Dulu ketika masih bersekolah tiap tanggal 30 September murid-murid diajak pergi ke gedung bioskop menonton film pemberontakan G30/S PKI. Dan tiap keluar dari sana saya selalu merinding. Kejam sekali para pemberontak itu ya?
”PKI itu tak bermoral, mereka atheis,” begitu seringkali guru sejarah (masa itu) memberikan penjelasan. Iya percaya lah, orang dari filmnya juga begitu.
Anggapan seperti itu telah berada di kepala saya sampai saya duduk di bangku kuliah. Baru ketika Orde Baru tumbang muncul wacana-wacana baru berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tapi jujur saat itu saya masih sering dibuat bingung karenanya.
Bulan november tahun lalu saya dan rekan berkunjung ke sebuah desa, Lanjaran namanya. Desa tersebut terletak di kecamatan Musuk kabupaten Boyolali, letaknya di lereng gunung Merapi.
Ketika peristiwa 65 terjadi, kawasan tersebut merupakan basis PKI. Setiap lapan (35 hari) di desa itu diadakan sebuah pertemuan ibu-ibu yang bernama Wiji Asih. Di sana selain ada kegiatan untuk memajukan peran wanita, mereka saling membagikan pengalaman sehubungan dengan tragedi yang mereka alami. Sebagian kecil dari ibu-ibu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang terlibat langsung dan sebagian besarnya adalah anak cucu mereka yang ketika itu masih kecil –dan bahkan ada yang belum lahir– namun sampai sekarang masih menanggung beban.
Anak cucu anggota PKI sampai sekarang masih belum sepenuhnya dapat dipulihkan hak-haknya. Belum lagi mereka harus menanggung stigma negatif dari masyarakat masyarakat akibat peristiwa yang mereka sendiripun tidak pernah mengerti apa itu.
Satu yang membuat saya tercengang ketika berkenalan dengan salah satu pendiri Wiji Asih. Seorang wanita berumur 86 tahun, Sutiyem namanya sering dipanggil Mbah Suti. Ketika tragedi tersebut terjadi Mbah Suti sempat ditangkap akibat kegiatannya di Gerwani.
Sempat terbayangkan, selama ini yang terpatri di benak saya bahwa Gerwani beranggotakan wanita-wanita tak bermoral yang ikut menganiaya para jenderal serta melakukan serangkaian tindakan asusila. Tapi kok yang saya hadapi....???
Belum 10 menit mendengarkan obrolannya saya langsung bisa mengatakan bahwa beliau adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dalam usia lanjut tersebut pemikiran beliau masih tetap tajam. Analisa-analisanya berkaitan dengan kegiatan demokrasi di masa sekarang masih sangat brilian.
Mbah Suti mengaku mengenal Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi yang melatarbelakangi terbentuknya Gerwani) ketika menjalankan profesinya sebagai penjual sirih di pasar. Latar belakang keikutsertaannya dalam gerakan wanita tersebut adalah untuk menggugat keberadaan poligami. Saat itu mbah Suti adalah istri ketiga. Seperti halnya keadan wanita-wanita lain pada masa itu yang hanya dianggap sebagai second class, poligami sangat merugikan wanita. Banyak wanita yang setelah dijadikan istri kesekian ditinggalkan begitu saja oleh suaminya padahal telah ada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan dua tahun kemudian didirikan cabang Musuk dengan Mbah Suti sebagai ketua. Pada tahun 1954 Gerwis berganti nama menjadi Gerwani.
Keberadaan Gerwis Lanjaran yang merupakan anak cabang meluas. Banyak wanita yang ikut karena mulai sadar untuk diajak lebih maju. Salah satu kegiatan Gerwis yang mencolok adalah edukasi terhadap para wanita. Saat itu akses wanita untuk mengenyam bangku sekolah sangatlah minim. Prioritas utama pendidikan adalah untuk laki-laki.Selain pendidikan Gerwis juga memiliki peran besar dalam aksi sosialnya berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1954.
Kegiatan Gerwani di Lanjaran sampai tahun awal tahun 1965 berjalan lancar. Namun ketika meletus peristiwa 65 keadaannya menjadi kacau balau. Desa Lanjaran yang dikenal merupakan basis kegiatan anggota PKI seperti BTI, Gerwani dan Lekra mulai terusik. Beberapa orang yang dikenal sebagai tokoh utama ditangkap aparat. Dari 19 orang yang tertangkap mbah Suti adalah satu-satunya perempuan. Setelah mendapat berbagai perlakuan buruk –salah satunya pelecehan seksual dengan diarak setelah ditelanjangi– mbah Suti akhirnya dibebaskan.
Meskipun kejadian buruk tersebut telah berlangsung lebih 40 tahun tapi mbah Suti dan keluarganya masih mendapat banyak kesulitan karenanya. Meskipun demikian ketajaman pikiran mbah Suti masih belum berkurang. Bahkan ketika usia lanjut menderanya. Saya masih sering terkejut dengan kritik-kritik yang cerdas dan tepat sasaran yang sering beliau lontarkan. Saya juga terheran-heran ketika beliau masih bisa mengingat secara rinci waktu, orang-orang serta kejadian-kejadian di masa lalu berkaitan dengan keaktifannya di Gerwis. Mbah Suti, aktivis Gerwani itu ternyata adalah organisator ulung. Yang sejak awal sudah memiliki visi mengangkat keberadaan perempuan. Layakkah jika disebut sebagai salah satu perintis gerakan perempuan di Indonesia?
Dulu ketika masih bersekolah tiap tanggal 30 September murid-murid diajak pergi ke gedung bioskop menonton film pemberontakan G30/S PKI. Dan tiap keluar dari sana saya selalu merinding. Kejam sekali para pemberontak itu ya?
”PKI itu tak bermoral, mereka atheis,” begitu seringkali guru sejarah (masa itu) memberikan penjelasan. Iya percaya lah, orang dari filmnya juga begitu.
Anggapan seperti itu telah berada di kepala saya sampai saya duduk di bangku kuliah. Baru ketika Orde Baru tumbang muncul wacana-wacana baru berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tapi jujur saat itu saya masih sering dibuat bingung karenanya.
Bulan november tahun lalu saya dan rekan berkunjung ke sebuah desa, Lanjaran namanya. Desa tersebut terletak di kecamatan Musuk kabupaten Boyolali, letaknya di lereng gunung Merapi.
Ketika peristiwa 65 terjadi, kawasan tersebut merupakan basis PKI. Setiap lapan (35 hari) di desa itu diadakan sebuah pertemuan ibu-ibu yang bernama Wiji Asih. Di sana selain ada kegiatan untuk memajukan peran wanita, mereka saling membagikan pengalaman sehubungan dengan tragedi yang mereka alami. Sebagian kecil dari ibu-ibu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang terlibat langsung dan sebagian besarnya adalah anak cucu mereka yang ketika itu masih kecil –dan bahkan ada yang belum lahir– namun sampai sekarang masih menanggung beban.
Anak cucu anggota PKI sampai sekarang masih belum sepenuhnya dapat dipulihkan hak-haknya. Belum lagi mereka harus menanggung stigma negatif dari masyarakat masyarakat akibat peristiwa yang mereka sendiripun tidak pernah mengerti apa itu.
Satu yang membuat saya tercengang ketika berkenalan dengan salah satu pendiri Wiji Asih. Seorang wanita berumur 86 tahun, Sutiyem namanya sering dipanggil Mbah Suti. Ketika tragedi tersebut terjadi Mbah Suti sempat ditangkap akibat kegiatannya di Gerwani.
Sempat terbayangkan, selama ini yang terpatri di benak saya bahwa Gerwani beranggotakan wanita-wanita tak bermoral yang ikut menganiaya para jenderal serta melakukan serangkaian tindakan asusila. Tapi kok yang saya hadapi....???
Belum 10 menit mendengarkan obrolannya saya langsung bisa mengatakan bahwa beliau adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dalam usia lanjut tersebut pemikiran beliau masih tetap tajam. Analisa-analisanya berkaitan dengan kegiatan demokrasi di masa sekarang masih sangat brilian.
Mbah Suti mengaku mengenal Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi yang melatarbelakangi terbentuknya Gerwani) ketika menjalankan profesinya sebagai penjual sirih di pasar. Latar belakang keikutsertaannya dalam gerakan wanita tersebut adalah untuk menggugat keberadaan poligami. Saat itu mbah Suti adalah istri ketiga. Seperti halnya keadan wanita-wanita lain pada masa itu yang hanya dianggap sebagai second class, poligami sangat merugikan wanita. Banyak wanita yang setelah dijadikan istri kesekian ditinggalkan begitu saja oleh suaminya padahal telah ada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan dua tahun kemudian didirikan cabang Musuk dengan Mbah Suti sebagai ketua. Pada tahun 1954 Gerwis berganti nama menjadi Gerwani.
Keberadaan Gerwis Lanjaran yang merupakan anak cabang meluas. Banyak wanita yang ikut karena mulai sadar untuk diajak lebih maju. Salah satu kegiatan Gerwis yang mencolok adalah edukasi terhadap para wanita. Saat itu akses wanita untuk mengenyam bangku sekolah sangatlah minim. Prioritas utama pendidikan adalah untuk laki-laki.Selain pendidikan Gerwis juga memiliki peran besar dalam aksi sosialnya berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1954.
Kegiatan Gerwani di Lanjaran sampai tahun awal tahun 1965 berjalan lancar. Namun ketika meletus peristiwa 65 keadaannya menjadi kacau balau. Desa Lanjaran yang dikenal merupakan basis kegiatan anggota PKI seperti BTI, Gerwani dan Lekra mulai terusik. Beberapa orang yang dikenal sebagai tokoh utama ditangkap aparat. Dari 19 orang yang tertangkap mbah Suti adalah satu-satunya perempuan. Setelah mendapat berbagai perlakuan buruk –salah satunya pelecehan seksual dengan diarak setelah ditelanjangi– mbah Suti akhirnya dibebaskan.
Meskipun kejadian buruk tersebut telah berlangsung lebih 40 tahun tapi mbah Suti dan keluarganya masih mendapat banyak kesulitan karenanya. Meskipun demikian ketajaman pikiran mbah Suti masih belum berkurang. Bahkan ketika usia lanjut menderanya. Saya masih sering terkejut dengan kritik-kritik yang cerdas dan tepat sasaran yang sering beliau lontarkan. Saya juga terheran-heran ketika beliau masih bisa mengingat secara rinci waktu, orang-orang serta kejadian-kejadian di masa lalu berkaitan dengan keaktifannya di Gerwis. Mbah Suti, aktivis Gerwani itu ternyata adalah organisator ulung. Yang sejak awal sudah memiliki visi mengangkat keberadaan perempuan. Layakkah jika disebut sebagai salah satu perintis gerakan perempuan di Indonesia?
Adik Luvy Ida Puji yang baik, saya tahu adik orang ternama dan mungkin salah satutokoh di mana adik tinggal. Adik boleh bela keturunan PKI termasuk keturunan Gerwani karena mereka tidak berdosa dan saya pribadi sebagai orang awam ttg sejarah dan lahir setelah PKI dan gerwani bubarsetuju sekali. Hanya kita tidak boleh memberi opini bahwa PKI dan Gerwani itu benar ataupun salah karena kita awam.
BalasHapus...semua diskursus mengandungi nilai(entah baik ato buruk)-ber-opini-menurut hemat saya perlu dan berguna agar tahu posisi.
BalasHapus