Senin, 22 Desember 2008

Happy Mother's Day Our Beloved Mom

Happy mother's day our beloved Ibu Sri Sumarni Maryono
Thanks for your care to us, for years
For make us stronger with your own way, it’s a unique way, you’re the one who have it
For your angers, we know those aimed to our kindness
For your warm hugs when we need it, when we sad and ask for a support
For your drudge work so that we can fulfill our necessity (Oh, you really really inspired me how to become a career woman without override your responsibility to your family)
For your delicious foods that you serve to us everyday, it makes us homesick whenever we’re in other town due to finish our studies
For the entire thing you give to us, I can’t even mention it
We love you Mom
You’re will always be our beloved

Next month you’ll undergo your retired time
It’s time for you to take a rest from your daily work activities, let us continue your buffetings
Hey don’t be confused Mom, there’s a lot of thing to do
You may continue your hobbies, ha ha I know that gardening can make you affiliate with our beloved Dad (I know you’re love each other, your marriage life is the great one but both of you always exchange words, even it ends with a lot of smile and laughs)
We love you both, Mom and Dad

Mom, please bless us, Mom’s pray will always heard by Allah SWT
So that we become your pride son and daughter
We promise you to give your avidities as son as possible


Your lovely Son & Daughter: Lilik & Ida Puji

Love you too our beloved Dad: Bapak Maryono

Happy mother's day to all mothers, you're amazing women

Kamis, 04 Desember 2008

Melepas Belenggu Diskriminasi Difabel

BAGI awam, peringatan Hari Difabel Internasional pada 3 Desember masih belum begitu familier dibandingkan dengan peringatan hari-hari yang lain. Ketidakfamilieran itu dapat dimaknai sebagai representasi kurangnya kepedulian terhadap para difabel.

Beberapa tahun belakangan, para aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah difabel sebagai ganti penyandang cacat yang secara kontekstual bersifat diskriminatif itu. Istilah difabel yang diperkenalkan pada 1998 merupakan singkatan dari frasa dalam Bahasa Inggris different ability people. Istilah difabel lebih mengacu kepada pembedaan kemampuan, bukan lagi kepada kecacatan atau ketidaksempurnaan.

Pada umumnya, kami para difabel mampu melakukan aktivitas seperti orang lain, hanya dengan cara yang berbeda. Namun begitu, meski telah diperkenalkan, penyebutan baru bagi kaum difabel yang diskriminatif itu masih melekat erat pada kaum minoritas tersebut.

Tampaknya, penggantian istilah penyandang cacat menjadi difabel masih terbatas di permukaan saja. Belum bisa menyentuh sampai pada kondisi real kaum difabel. Menyandang sebutan difabel, belum juga membuat kami bisa sepenuhnya diakui sebagai bagian dari masyarakat.

Terpinggirkan

Berdasarkan laporan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos), terdapat enam juta orang atau sekitar 3% difabel dari 200 juta penduduk Indonesia (pada saat itu). Sementara itu menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar 10 juta difabel di Indonesia (Thohari, 2008)

Data yang diperoleh itu belum sepenuhnya valid, mengingat masih banyak keberadaan difabel yang disembunyikan oleh keluarga karena masih dianggap aib. Kuantitas data tersebut masih perlu direvisi dengan mempertimbangkan keadaan Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, yang dipenuhi berbagai bencana.

Bencana yang terjadi telah membuat jumlah difabel bertambah. Bencana tsunami Aceh 2005, gempa di Yogyakarta 2006, dan sederet bencana lain yang menimpa seluruh pelosok Nusantara, membuat jumlah difabel bertambah banyak.

Dengan angka keberadaan yang cukup besar itu, ternyata perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap difabel masih sangat minim, meskipun saat ini pemerintah telah mengeluarkan sejumlah landasan hukum bagi kaum difabel.

Sebutlah beberapa di antaranya Undang-Undang (UU) 4/1997 tentang Penyandang Cacat; Peraturan Pemerintah (PP) 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan (Thohari, 2008).

Pada kenyataannya, implementasi produk hukum yang melindungi difabel dalam masyarakat masih amat mengecewakan. Perlakuan diskriminatif masih terus terjadi pada hampir semua bidang, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, juga kemudahan dalam mengakses bangunan umum dan lingkungan.

Pengalaman Pribadi

Sebagai seorang difabel, saya masih harus mengalami beberapa perlakuan diskriminatif. Saya masih beruntung; sebab dalam hal pendidikan, tidak dalam kondisi diskriminatif.

Keterbatasan yang saya miliki, masih memungkinkan untuk melaksanakan pendidikan umum. Saya masih bisa mengakses pendidikan umum di beberapa tingkat dengan dispensasi pada kegiatan fisik.

Saya bisa menyebutnya beruntung, karena ada jauh lebih banyak difabel yang tidak bisa mengakses pendidikan secara optimal.

Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tiap difabel berbeda-beda, bergantung kepada keterbatasan yang dimiliki, sementara pola pendidikan yang ada cenderung bersifat generalalisasi. Kondisi itu menyebabkan lebih banyak pendidikan yang tidak bisa diterapkan secara optimal kepada difabel.

Dalam dunia kerja, barulah perlakuan diskriminatif itu saya temui. Kurangnya tingkat kepercayaan atau dont trust dari pihak pemberi kerja sempat membuat langkah saya untuk mandiri secara ekonomi tersendat. Secara umum, kondisi itu dihadapi oleh difabel yang berusaha untuk mengakses pekerjaan di lingkungan masyarakat umum.

Kurangnya trust itu pula yang menjadi salah satu faktor difabel lebih banyak bekerja pada sektor informal dibandingkan dengan sektor formal. Dengan diperparah oleh bekal pendidikan dan modal yang tidak mencukupi, mereka hidup dalam garis kemiskinan.

Padahal, penenempatan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya, membuat difabel dapat bekerja sebaik orang lain, bahkan mungkin bisa lebih baik lagi.

Namun, pintu tersebut tertutup rapat ketika kesempatan memperoleh pekerjaan tidak dimiliki akibat kurangnya trust dari pihak pemberi kerja, sementara itu perlindungan pemerintah juga masih sangat minim. Walaupun sebenarnya dalam UU 4/1997 sudah ada aturan kesempatan kerja difabel melalui kuota 1%, namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Diskriminasi lain adalah kesulitan yang harus dihadapi kaum difabel dalam mengakses fasilitas umum, seperti gedung sekolah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Keberadaan fasilitas pendukung seperti lift dan ramp bagi pemakai kursi roda serta guilding block bagi penyandang tunanetra, masih sangat minim.

Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 35 gedung milik publik, ditemukan hanya 0,3 persen yang memberikan akses untuk dapat dinikmati bagi orang-orang difabel (Soldier, edisi ke-2, 2005). Tentu saja angka itu sangat tidak sebanding dengan jumlah difabel yang ada saat ini.

Memperingati Hari Difabel Internasional tahun ini, selayaknya kita semua menyadari bahwa kondisi kaum difabel di Indonesia masih jauh dari harapan. Hal itu terlihat dari banyaknya kaum difabel yang masih belum sepenuhnya memperoleh haknya.

Perlu dikembangkan peran serta masyarakat untuk menghapus stereotype difabel merupakan beban. Tak lepas, upaya itu bisa berhasil baik jika ada dukungan penuh dari pemerintah dengan menegakkan kembali sederet landasan hukum yang selama ini masih mandul.

Langkah kita masih panjang untuk memperoleh kesetaraan di segala bidang bagi kaum difabel; dan itu semua hanya bisa diraih dengan kerja sama dari segenap pihak.(68)

Published in Suara Merdeka Selasa 02 Desember 2008

Selasa, 25 November 2008

Perlukah Pelarangan Buku "Membongkar Kegagalan CIA"?


Buku “Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya (Legacy of Ashes The History of CIA)” saat ini tengah menjadi sorotan di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Tim Weiner seorang wartawan The New York Times ini bertutur mengenai kegiatan dunia bawah tanah dari sebuah negara adidaya. Negara yang selalu ingin menjadi polisi dunia, yang merasa berhak ikut campur dalam urusan negara-negara lain.
Buku setebal 858 halaman ini memaparkan beberapa bukti kelemahan CIA, mulai dari peristiwa runtuhnya tembok Berlin tahun 1989, serangan menara WTC tahun 2001, hingga kebohongan mengenai keberadaan senjata nuklir Irak yang membawa serangan militer AS ke Irak. Buku ini juga mengungkap operasi yang dilakukan CIA di Indonesia.
Keterlibatan CIA dalam peristiwa G30 S memang telah lama disebut-sebut ada. Beberapa literature telah menyebutkan CIA berada di belakang Soeharto dalam peristiwa berdarah yang merenggut jutaan nyawa tersebut (ada beberapa tulisan yang menyebut korban G30 S mencapai 500 ribu orang, namun beberapa tulisan lain yang mengklaim korban G30 S mencapai 3 juta orang). Buku ini menyinggung beberapa hal mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia tersebut. Beberapa hal disinggung mulai dari kondisi Sukarno, keberadaan PKI hingga pembunuhan para jendral. Bahkan dalam buku ini pihak CIA menyerahkan uang tunai 10 ribu dolar AS guna membiayai pembasmian G30 S.
Sejumlah bantahan sangat mungkin terjadi akibat paparan beberapa identitas yang secara gamblang tercantum di buku ini. Di Indonesia sendiri pemunculan nama Adam Malik, telah menimbulkan beragam reaksi. Orang yang pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia disebut-sebut sebagai pejabat Indonesia tertinggi yang pernah direkrut CIA. Pemaparan hal ini membuat beberapa kalangan yang menganggap pernyataan ini sebagai fitnah mendesak Kejaksaan Agung melarang peredaran buku ini.
Pertanyaan yang saat ini timbul perlukah pelarangan peredaran terhadap buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama ini?
Beragam opini bisa muncul menyangkut benar atau tidaknya Adam Malik merupakan agen CIA. Namun pelarangan peredaran buku bukan merupakan solusi terbaik. Setelah lebih 10 tahun bereformasi adalah sebuah kemunduran jika kita kembali lagi pada era Orde Baru dengan langkah pelarangan peredaran sebuah karya. Kita tentu tidak ingin terjadi lagi pemasungan pikiran di di rezim Orde Baru seperti pelarangan karya-karya brilian Pramodya Ananta Toer atau pembredelan majalah Tempo. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan terulang lagi di masa kini. Pelarangan sebuah tulisan bukan hanya membuat sebuah informasi terputus namun lebih dari itu langkah pelarangan buku ini akan membuat citra buruk bagi pemerintah Indonesia baik di mata masyarakat Indonesia maupun di mata dunia Internasional.
Agak sulit memang menelusuri kebenaran Adam Malik seorang agen CIA atau bukan mengingat saat ini Adam Malik telah tiada. Namun begitu ada beberapa cara lain yang bisa ditempuh untuk mengklarifikasinya. Beberapa bukti perlu digali ulang dalam rangka membenarkan ataupun membantah pernyataan tersebut. Yang diperlukan kerja keras dalam mengumpulkan bukti-bukti pendukung dan bukan hanya kebakaran jenggot saja

Senin, 20 Oktober 2008

Nikmatnya Kembali Ke Suasana Desa



Masih dalam suasana lebaran saya dan beberapa rekan kantor bersilaturahmi ke rumah salah satu pimpinan kantor yang terletak di daerah Susukan, Kabupaten Semarang.
Di rumah tersebut kami bersepuluh disuguhi suasana pedesaan yang asri. Mulai dari pemandangan hamparan persawahan yang siap panen di sepanjang jalan, sungai yang mengalir mengelilingi desa (saat kami melintas ada beberapa orang warga yang sedang memancing, ini sempat membuat saya yang punya hobi satu ini sangaaat sangaaat ingin bergabung) hingga rumah tujuan yang bernuansa kayu (Wow!).
Belum cukup sampai disitu saja, saat tiba kami disuguhi aneka makanan desa yang yammm!! begitu menggugah selera. Diawali dengan suguhan kacang rebus yang membuat kami jadi terlihat seperti monyet… (ha ha ha….!!!)
Selanjutnya diikuti sajian menu utama yang membuat cacing-cacing di perut jadi ikut menari. Ada nasi putih yang masih panas, tempe goreng dari tempe yang dibungkus daun dan baru setengah jadi (cita rasa tempe yang pada proses pembuatannya dibungkus daun berbeda dengan tempe yang dibungkus plastik) , lele goreng yang dimbil dari kolam di samping rumah, soto ayam kampung -kata nyonya rumah merupakan ayam piaraan dan baru saja dipotong-, beberapa macam lalap yang diambil dari kebun belakang rumah, hingga sambel yang ampun puedesnya.
Lirik kanan kiri ternyata sebagian besar rekan nambah 2 sampai 3 kali, termasuk mereka yang tadi di jalan sempet KO akibat cuaca dan jalan yang naik turun serta berkelok (eh termasuk si boss nambah juga lho!).
2 macam sambel, sambel terasi dan sambel bawang (atau kita sering menyebutnya sambel korek) yang minta ampun pedesnya. Ditambah lalap pucuk daun singkong rebus, sejenis kacang-kacangan rebus dan petai goreng. Juga tempe goreng dan lele goreng garing membuat selera makan kami berlipat-lipat. Pokoknya sajian yang ada bisa tandas das, semuanya kecuali sambel tentu saja.
Sore itu kami semua pulang dengan sukses, semua kenyaang. Masalahnya baru timbul ketika semua antri menggunakan kamar mandi, dijamin semua bauuu gara-gara petai goreng.
Kasihan tukang bersih-bersih kantor, tugasnya jadi makin berat…

Setahun Wijiasih


Hari sabtu, 12 Oktober 2008 lalu Perkumpulan Perempuan Lanjaran (PPL) mengadakan acara tasyakuran 1 tahun berdirinya Wijiasih.
Wijiasih merupakan wahana perempuan Lanjaran -Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali- berkumpul untuk membicarakan permasalahan perempuan. Tujuan utama didirikannya Wijiasih ada 2: 1. Mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; 2. Memberikan penyadaran terhadap perempuan dalam rangka mengeliminir tingkat KTPA (Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak) di wilayah Lanjaran.
Paguyuban yang didirikan pada 4 September 2007 lalu dirintis dan disesepuhi oleh mbah Suti (masih ingat tulisan saya tentang beliau beberapa waktu yang lalu). Di masa tuanya ini mbah Suti ternyata masih memiliki kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan yang dihadapi kaumnya.
Kepiawaian mbah Suti sebagai seorang organisator rupanya belum pupus termakan usia. Meski lebih banyak berada di belakang layar akibat kondisi fisiknya yang tidak lagi sekuat dulu, sumbangan pemikiran mbah Sutilah yang menjadi motor Wijiasih.
Tasyakuran yang jatuh pada suasana lebaran menjadikan acara ini sekaligus menjadi acara halal bi halal.
Acara yang berlangsung sekitar 3 jam ini dihadiri oleh anggota Wijiasih, masyarakat desa Lanjaran, pamong desa Lanjaran, staff LKTS Boyolali dan seorang Staff Ahli Menteri Kehutanan RI. Kedatangan Staff Ahli Meteri Kehutanan ini berkaitan dengan sosialisasi progam “Indonesia Menanam”. Program ini dilakukan untuk mengurangi dampak Global Warming. Dalam program rangka mensukseskan program ini Departemen Kehutanan RI menawarkan bibit tanaman gratis untuk ditanam di daerah Lanjaran yang merupakan lahan kritis (merupakan lahan miring di lereng pegunungan). Selain itu, secara pribadi staff yang berasal dari Boyolali itu memberikan sejumlah dana bagi pengembangan Wijiasih.
Sebagai penghujung acara adalah tausiah yang dibawakan oleh seorang ustad local. Tausiah mengambil tema kehidupan berdemokrasi dalam masyarakat.
Secara keseluhan rangkaian acara tasyakuran dan halal bi halal ini berjalan lancar meski pelaksanaan molor beberapa jam dari waktu yang direncanakan (rupanya budaya jam karet masih melekat erat dengan budaya masyarakat Indonesi pada umumnya). Ke depannya tugas berat masih menghadang mengingat usia Wijiasih yang masih muda sehingga butuh banyak usaha yang perlu dilakukan untuk membuat perkumpulan ini berjalan.

Sabtu, 27 September 2008

Hati-hati Dengan Permintaan Anda

Pernahkah Anda ngerasa pengen banget permintaanmu dikabulkan? Namun kadangkala tidak semua keinginan kita terwujud bukan? Dan ketika permintaan itu tidak terkabul kita mengalami kekecewaan yang mendalam.
Uniknya kadangkala kita ngerasa kecewa justru ketika permintaan kita dikabulkan oleh Tuhan. Lho kok?? Itulah rumitnya manusia
Ada seorang bapak yang sedih melihat buah hati kesayangannya didera flu. Si kecil yang biasanya bergerak lincah tak henti-hentinya. Namun pilek dan demam yang diderita si anak membuatnya tergolek tak berdaya di tempat tidur. Semalamanpun anak kecil tersebut tak nyenyak tidur dan seringkali rewel merasakan badannya yang sakit
Secara tak sadar si bapak berucap, ”Ya Allah, daripada anak saya yang masih kecil ini menderita sakit begini mendingan saya saja yang menanggung sakit.” Kadangkala kan kita memang bersikap demikian. Tak tega demi melihat orang yang sangat kita sayangi menderita kita sering membuat permintaan jika saja penderitaan itu bisa dipindahtangankan, maulah rasanya kita saja yang menanggungnya.
Selang beberapa lama ketika si anak telah sehat seperti sedia kala, tiba giliran si bapak yang menderita penyakit yang kurang lebih sama. Demam, hidung tersumbat dan kepala pening. Di tengah penderitaan tersebut si bapak jadi sering hilang kesabaran. Kenakalan si anak yang biasanya hanya membuatnya kini tersenyum ditanggapinya dengan marah-marah. Begitu juga sikap bapak tersebut menghadapi orang-orang lain di sekelilingnya. Istri dibentak kalau salah mengambilkan obat, pembantu dimarahi karena lama membawakan minum.
Wah si bapak tersebut rupanya sudah lupa dengan hal yang dulu pernah diminta dalam doanya. Herankan, justru ketika permintaannya dikabulkan bapak itu malah menyalahkan semua orang di sekelilingnya. Kan dulu dia sendiri yang meminta diberi sakit sementara si anak sehat
Padahal ketika anaknya yang sakit, dia kan gak membentak-bentak bapaknya (nah lho!)
Saya juga baru mengalami kerepotan dengan permintaan saya.
Dulu sewaktu baru masuk kantor tanggung jawab saya sedikit. Belum banyak tugas yang saya emban waktu itu. Saya sering merasa iri dengan teman-teman kantor yang lain yang telah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kapan saya bisa sibuk seperti mereka? Saya sering sekali berdoa supaya bisa mendapat banyak tanggung jawab. Gak enak kan ongkang-ongkang kaki sementara yang lain pada sibuk
Sekarang permintaan saya terkabul. Seiring berjalannya waktu semakin banyak tanggung jawab yang saya emban. Belum selesai tugas satu pasti ada tugas lain menghampiri. Bahkan tadi pagi Boss sudah memberikan lagi satu materi sebagai tanggung jawab kerja saya (huaaaa)
Padahal kenaikan profit belum menghampiri, duhh!
Sekarang kalau saya mau menyalahkan keadaan terus terang saya malu pada Tuhan. Dalam doa saya dulu saya ingin tugas dan tanggung jawab saya yang bertambah, bukan penghasilan saya. Terus sekarang hal itu sudah saya dapatkan. Masih pantaskah saya menggerutu?
Jadi seharusnya dulu saya berdoa semoga tugas saya meningkat, penghasilan juga meningkat ya.
Dasar manusia, he he saya kan juga manusia ya....

Kita Dan Budaya Pamer

Pekan lalu saya mengikuti rapat koordinasi sebuah paguyuban MMK (Masyarakat Miskin Kota). Rapat tersebut memiliki agenda untuk mempersiapkan warga MMK sebelum rapat dengar pendapat dengan Pemda pada esok paginya.
Paguyuban MMK adalah perkumpulan yang beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat kota yang memiliki penghasilan di bawah rata-rata. Anggotanya antara lain kelompok sopir angkutan, kusir andong, pedagang asongan, anak jalanan, pengamen, waria, PSK, buruh gendong pasar, pemulung, dll.
Selama ini mereka kesulitan mendapat akses dari pemerintahan dan seringkali menjadi korban atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Untuk itu mereka bekerjasama -difasilitasi oleh kantor saya- membentuk suatu organisasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
Rencananya MMK akan melakukan dengar pendapat dengan Pemda untuk membahas permasalahan mereka. Ada beberapa hal yang ingin mereka sampaikan dalam rapat dengar pendapat, di antaranya adalah permasalahan yang mereka hadapi seperti penggusuran, meminta bantuan untuk penambahan modal kerja, meminta bantuan pelatihan keterampilan.
Untuk lebih mematangkan persiapan dan menyatukan visi, maka rapat koordinasi tersebut diadakan sehari sebelumnya.
Dengan bantuan beberapa fasilitator dari NGO rencana dengar pendapat dapat dipersiapkan dengan baik, warga MMK lebih memiliki kesiapan baik dari materi maupun mental dalam menyampaikan aspirasinya.
Namun ada suatu hal menarik yang sempat saya cermati. Hal itu sama sekali di luar konteks rapat yang mereka adakan.
Dari 9 wakil kelompok MMK ada terdapat seorang ibu yang ketika menghadiri rapat tampak mengenakan perhiasan yang mencolok. Ibu tersebut memakai beberapa buah cincin dan serentang gelang --yang kalau saya tidak salah tebak terbuat dari-emas.
Saya jadi geli membayangkan seandainya esok hari ibu tersebut juga mengenakan perhiasan-perhiasannya dalam dengar pendapat, bagaimana dengan pemikiran Pemda?
Menggelikan memang, mereka mengatasnamakan masyarakat miskin, meminta bantuan, namun apa yang diperlihatkan justru malah sebaliknya.
Sebuah ironi memang, seringkali kita melihat di masyarakat apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang terucap. Seringkali mereka mengaku masyarakat miskin, tapi inginnya tampil wah.
Budaya pamer yang mengakrabi masyarakat seringkali justru membawa mereka lebih terpuruk dalam kemiskinannya.
Dalam lingkungan tempat tinggal saya ada sebuah kebiasaan untuk membuat pesta besar untuk sebuah hajatan seperti pesta pernikahan dan sunatan. Bahkan ada kecenderungan untuk saling berlomba pesta siapa yang paling hebat. Kebiasaan tersebut tidak hanya terhenti pada keluarga berduit saja. Keluarga yang tidak memiliki cukup memiliki uangpun merasa gengsi jika tidak mampu menyelenggarakan sebuah pesta. Akibatnya mereka harus meminjam uang guna membuat sebuah pesta.
Masalah dimulai ketika pesta telah usai, keramaian telah menyurut. Yang tersisa adalah setumpuk hutang tanpa ada jalan keluar bagaimana melunasinya.
Saya bukan sedang menyalahkan si ibu yang memiliki banyak perhiasan, yang saya sayangkan adalah penempatan pemakaiannya.
Saya juga tidak melarang masyarakat kurang mampu untuk mengadakan sebuah pesta. Namun kemeriahan sebuah pesta kan hanya sesaat. Kalau hanya untuk dilihat "wah" di hadapan orang lain, sementara itu kesulitan yang mengiringi di belakang tidak sebanding lalu untuk apa?

Rabu, 10 September 2008

Ramadhan Bulan Bebas Asap Rokok

Rasanya sungguh segar udara yang saya hirup dalam semingguan ini. Beberapa rekan kantor sayapun merasakan hal yang sama. Ini jarang terjadi di lingkungan tempat saya bekerja.
10 hari ini ada hal berbeda dari ruangan tempat saya bekerja yaitu absennya asap rokok yang biasanya sangat rajin memenuhi udara kantor.
Rekan kerja saya sebagian besar laki-laki dan hampir semuanya adalah perokok. Karena suhu udara daerah Boyolali dingin (karena merupakan daerah pegunungan) maka alat pendingin ruangan tidak dibutuhkan. Buang-buang energi untuk memasang AC, tanpa alt itu saja kami sering kedinginan di siang bolong.
Biasanya rapat-rapat yang saya ikuti diikuti pula oleh kepulan asap. Saya gak habis pikir apa rekan-rekan saya yang merokok tidak tersedak asap? Karena mereka hampir selalu menghembuskan asap di sepanjang sesi rapat. Bahkan ngomongpun sambil merokok.
Beberapa kali saya dan rekan yang tidak merokok (terutama rekan perempuan) mengajukan keberatan. Dari sindiran ringan hingga protes secara langsung namun hasilnya nihil.
Pernah saya ajukan protes secara langsung seusai rapat, salah satu rekan saya menjawab, ”ya bagaimana lagi bu, tanpa rokok kepala saya pusing.” Dia menjawab sambil tertawa karena saya protes dengan nada santai. ”Lhah kebalikannya pak, kalau bapak merokok gantian kepala saya pusing.” Dia cuman tertawa, gak bisa membalas kata-kata saya. Tapi tetep gak pernah ada perubahan, tetep merokok di depan saya.
Nah di bulan ramadhan ini ada kebebasan baru yang saya rasakan. Setiap pagi ketika saya melangkah memasuki ruangan dengan senang hati karena hari ini tidak ada racun nikotin yang saya hirup.

Begitu juga ketika saya mengunjungi fasilitas-fasilitas umum seperti perkantoran, terminal dan pasar. Segar sekali udaranya karena asap rokok lagi-lagi absen.
Coba ya, suasana seperti ini berlangsung sepanjang tahun dan bukan hanya sebulan dalam setahun. Tapi bagaimanapun juga ini patut disyukuri, ramadhan memang penuh berkah

Selasa, 09 September 2008

Letak Kebahagiaan Kita

Saya pernah mengalami masa-masa sulit. Suatu masa di mana memandang masa depan terasa amat menyakitkan bagi saya. Saya menyebutnya sebagai titik terendah dalam kehidupan.
Dalam masa itu perasaan saya cenderung menjadi lebih sensitif, sensitif dalam artian negatif tentu saja. Yah rada-rada desperate gitu
Suatu saat dalam rentang masa itu adik lelaki saya tiba-tiba dateng bawa pacar ke rumah. Bugg! Pukulan bagi saya yang tengah menjomblo. Bagi masyarakat sekeliling saya, dilangkahi adik (apalagi adik laki-laki bisa disebut suatu hal yang memalukan).
Terus terang hal yang paling menakutkan bagi saya adalah menghadapi pandangan orang. Siapa sih yang tahan dipandang kasihan, not me! Pikiran saya terfokus pada hal-hal negatif, cenderung berfikiran buruk
Kemudian saya curhat pada sahabat saya, yang saya tahu memiliki segudang penuh amunisi pikiran positif di kepalanya.
Dia menekankan apa yang benar-benar saya inginkan dari permasalahan tersebut. Pilihan yang berat memang. Saya tentu saja tidak menginginkan buru-buru menjatuhkan pilihan untuk kemudian menikah sebelum didahului oleh adik. Bukannya semua yang dilakukan secara terburu-buru hasilnya tidak akan optimal. Ini menyangkut pilihan seumur hidup. Sementara untuk merelakan dilangkahi, siapkah saya?
Saya merasa marah, kecewa dan sakit hati pada adik dan pacarnya. Saya merasa mereka udah menikam saya dari belakang (padahal kenyataannya gak segitunya kalee!)
Akhirnya ada salah satu kalimat sahabat itu yang bisa membuat saya kembali bangkit. Pernyataan bahwa, "Kebahagiaan kamu bukan tergantung pada orang lain melainkan ada pada diri kamu sendiri. Kamu sendiri yang udah mengijinkan diri kamu marah, kecewa dan sakit hati."
Saya mulai sadar, bahwa selama ini saya terlalu terpaku pada hal-hal yang belum saya miliki sehingga saya melupakan segala anugerah yang telah diberikan Allah pada saya. Saya lupa bersyukur (Astaqfirullah!)
Dari sanalah saya mulai bangkit, saya sadar bahwa saya adalah orang yang sungguh-sungguh beruntung. Untuk apa saya hanya mendengarkan omongan orang lain. Apapun yang mereka katakan saya memiliki kuasa penuh untuk mengontrol diri saya sendiri. Saya yang mengijinkan diri saya untuk marah dan sakit hati pada pandangan mereka.
Memang saya toh tidak bisa mengatur apa penilaian dan pemikiran orang lain terhadap saya. Tapi itu semua tidak ada gunanya karena sayalah yang memiliki kekuasaan atas diri saya sendiri. Saya yang menentukan apakah saya berhak bahagia atau tidak dan itu semua tidak ada sangkut pautnya dengan pendapat orang.
Biiarkan orang bilang apa, biarkan orang berlaku apa. Now here I am, a happily person no matter what

Dan Anggota Gerwani Itu Ternyata...


Masih ingatkah anda tentang pelajaran sejarah mengenai G30/S PKI?
Dulu ketika masih bersekolah tiap tanggal 30 September murid-murid diajak pergi ke gedung bioskop menonton film pemberontakan G30/S PKI. Dan tiap keluar dari sana saya selalu merinding. Kejam sekali para pemberontak itu ya?
”PKI itu tak bermoral, mereka atheis,” begitu seringkali guru sejarah (masa itu) memberikan penjelasan. Iya percaya lah, orang dari filmnya juga begitu.
Anggapan seperti itu telah berada di kepala saya sampai saya duduk di bangku kuliah. Baru ketika Orde Baru tumbang muncul wacana-wacana baru berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tapi jujur saat itu saya masih sering dibuat bingung karenanya.
Bulan november tahun lalu saya dan rekan berkunjung ke sebuah desa, Lanjaran namanya. Desa tersebut terletak di kecamatan Musuk kabupaten Boyolali, letaknya di lereng gunung Merapi.
Ketika peristiwa 65 terjadi, kawasan tersebut merupakan basis PKI. Setiap lapan (35 hari) di desa itu diadakan sebuah pertemuan ibu-ibu yang bernama Wiji Asih. Di sana selain ada kegiatan untuk memajukan peran wanita, mereka saling membagikan pengalaman sehubungan dengan tragedi yang mereka alami. Sebagian kecil dari ibu-ibu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang terlibat langsung dan sebagian besarnya adalah anak cucu mereka yang ketika itu masih kecil –dan bahkan ada yang belum lahir– namun sampai sekarang masih menanggung beban.
Anak cucu anggota PKI sampai sekarang masih belum sepenuhnya dapat dipulihkan hak-haknya. Belum lagi mereka harus menanggung stigma negatif dari masyarakat masyarakat akibat peristiwa yang mereka sendiripun tidak pernah mengerti apa itu.
Satu yang membuat saya tercengang ketika berkenalan dengan salah satu pendiri Wiji Asih. Seorang wanita berumur 86 tahun, Sutiyem namanya sering dipanggil Mbah Suti. Ketika tragedi tersebut terjadi Mbah Suti sempat ditangkap akibat kegiatannya di Gerwani.
Sempat terbayangkan, selama ini yang terpatri di benak saya bahwa Gerwani beranggotakan wanita-wanita tak bermoral yang ikut menganiaya para jenderal serta melakukan serangkaian tindakan asusila. Tapi kok yang saya hadapi....???
Belum 10 menit mendengarkan obrolannya saya langsung bisa mengatakan bahwa beliau adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dalam usia lanjut tersebut pemikiran beliau masih tetap tajam. Analisa-analisanya berkaitan dengan kegiatan demokrasi di masa sekarang masih sangat brilian.
Mbah Suti mengaku mengenal Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi yang melatarbelakangi terbentuknya Gerwani) ketika menjalankan profesinya sebagai penjual sirih di pasar. Latar belakang keikutsertaannya dalam gerakan wanita tersebut adalah untuk menggugat keberadaan poligami. Saat itu mbah Suti adalah istri ketiga. Seperti halnya keadan wanita-wanita lain pada masa itu yang hanya dianggap sebagai second class, poligami sangat merugikan wanita. Banyak wanita yang setelah dijadikan istri kesekian ditinggalkan begitu saja oleh suaminya padahal telah ada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan dua tahun kemudian didirikan cabang Musuk dengan Mbah Suti sebagai ketua. Pada tahun 1954 Gerwis berganti nama menjadi Gerwani.
Keberadaan Gerwis Lanjaran yang merupakan anak cabang meluas. Banyak wanita yang ikut karena mulai sadar untuk diajak lebih maju. Salah satu kegiatan Gerwis yang mencolok adalah edukasi terhadap para wanita. Saat itu akses wanita untuk mengenyam bangku sekolah sangatlah minim. Prioritas utama pendidikan adalah untuk laki-laki.Selain pendidikan Gerwis juga memiliki peran besar dalam aksi sosialnya berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1954.
Kegiatan Gerwani di Lanjaran sampai tahun awal tahun 1965 berjalan lancar. Namun ketika meletus peristiwa 65 keadaannya menjadi kacau balau. Desa Lanjaran yang dikenal merupakan basis kegiatan anggota PKI seperti BTI, Gerwani dan Lekra mulai terusik. Beberapa orang yang dikenal sebagai tokoh utama ditangkap aparat. Dari 19 orang yang tertangkap mbah Suti adalah satu-satunya perempuan. Setelah mendapat berbagai perlakuan buruk –salah satunya pelecehan seksual dengan diarak setelah ditelanjangi– mbah Suti akhirnya dibebaskan.
Meskipun kejadian buruk tersebut telah berlangsung lebih 40 tahun tapi mbah Suti dan keluarganya masih mendapat banyak kesulitan karenanya. Meskipun demikian ketajaman pikiran mbah Suti masih belum berkurang. Bahkan ketika usia lanjut menderanya. Saya masih sering terkejut dengan kritik-kritik yang cerdas dan tepat sasaran yang sering beliau lontarkan. Saya juga terheran-heran ketika beliau masih bisa mengingat secara rinci waktu, orang-orang serta kejadian-kejadian di masa lalu berkaitan dengan keaktifannya di Gerwis. Mbah Suti, aktivis Gerwani itu ternyata adalah organisator ulung. Yang sejak awal sudah memiliki visi mengangkat keberadaan perempuan. Layakkah jika disebut sebagai salah satu perintis gerakan perempuan di Indonesia?